Batam: ”Free Corruption Zone”

Monica Nathan.

Oleh: Monica Nathan

Batam disebut Free Trade Zone. Hari ini lebih cocok disebut: Free Corruption Zone. Mengapa? Baca sampai tuntas.

Pejabat daerah? Sekarang punya carte blanche. Bukan karena rakyat memilih, tapi karena so-called PP 25 & 28/2025 memberinya kuasa penuh.

Izin lahan, izin laut, reklamasi — semua lewat satu pintu: BP Batam. Partai tetap ikut ambil bagian, tapi kini pejabat daerah jadi raja kecil. Siapa dekat dengan meja itu, dia yang menang.

Aparat pun kebagian. Tajir bukan karena gaji, tapi karena disirami duit. Kalau tidak, mana mungkin ada pancang-pancang ilegal berdiri di laut enam bulan terakhir, tanpa juklak, tanpa juknis?

Siapa yang rugi? Tokoh lokal dipermalukan (Purajaya diratakan). Nelayan kehilangan laut. Kampung tua terjepit. Mangrove ditebang.

Siapa yang untung? Investor besar, pejabat superbody, partai rakus, aparat tajir.

Batam bukan lagi panggung pembangunan. Batam hari ini adalah panggung keserakahan yang dilegalkan.

Rury Afriansyah, Direktur PT Dani Tasha Lestari, pemilik Hotel Purajaya, kebanggan Melayu Kepri.

Free Trade Zone?
Lebih jujur kalau disebut:
Free Corruption Zone.

Dari Free Trade Zone ke Free Mafia Zone

Batam dulu dibanggakan sebagai Free Trade Zone. Kawasan perdagangan bebas yang jadi wajah Indonesia di depan Singapura. Tempat investasi datang, lapangan kerja tumbuh, dan modernisasi berjalan.

Itu dulu. Hari ini, Batam lebih cocok disebut: Free Mafia Zone. Karena yang bebas justru mafia lahan.

Nama-Nama yang Semua Orang Tahu.
Siapa mereka?
Ada Asri alias Akim.
Ada Bobie Jajanto.
Di belakangnya ada bohir besar: AH alias DC.

Uang mereka deras.
Jaringannya panjang.
Mereka tidak bergerak sendirian.
Ada pejabat daerah yang memberi jalan.
Ada partai yang jadi makelar.
Ada aparat yang tajir karena disirami.

Lahan ex PT Dani Tasha Lestari yang kini sudah dikuasai oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP), yang diduga bagian dari mafia tanah di Batam.

Itu sebabnya, meski juklak dan juknis tidak ada, pancang-pancang reklamasi bisa berdiri di laut sejak enam bulan lalu. Siapa berani memancang laut tanpa izin resmi, kalau tidak dilindungi?

Superbody yang Jadi Boneka

Sumber masalah ada pada PP 25/2025 dan PP 28/2025. Aturan ini menjadikan BP Batam superbody. Semua izin—darat maupun laut—dipusatkan di sana.

Wali Kota otomatis Kepala BP Batam. Di kertas, ia tampak perkasa. Di lapangan, justru boneka. Karena semua orang tahu, yang lebih garang justru Wakil Wali Kota. Seperti macan yang nyasar, tapi akhirnya menguasai arena. Urusan besar sampai urusan sampah pun harus lewat dia.

Purajaya: Tumbal, Bukan Solusi

Hotel Purajaya di Teluk Tering dirobohkan. Alasannya: peralihan lahan bermasalah.

Tapi rakyat tahu: Purajaya hanyalah tumbal. Yang terang-terangan dihukum, sementara mafia besar justru aman. Asri dan Bobie tetap melenggang. Bohir DC tetap menyalurkan dana. Dan proyek-proyek besar tetap berjalan.

Rakyat Melayu yang Tersisih

Yang kalah siapa?
Bukan mafia.
Bukan pejabat.
Bukan aparat.

Yang kalah adalah rakyat Melayu.
Kampung tua makin sempit.
Nelayan kehilangan laut.
Mangrove ditebang, abrasi makin parah.
Marwah Melayu dipermalukan di tanahnya sendiri.

Kesimpulan: Free Mafia Zone

Batam hari ini jadi panggung besar.
– Mafia lahan jadi pemain utama.
– Bohir jadi sponsor.
– Pejabat daerah jadi boneka.
– Wakil Wali Kota jadi macan.
– Partai jadi makelar.
– Aparat jadi penonton yang kenyang disirami.

Dan rakyat?
Hanya bisa menonton, sambil bertanya:
Batam ini untuk siapa—untuk bangsa, atau untuk mafia?

Batam memang masih disebut Free Trade Zone.
Tapi realitasnya, ia sudah berubah.
Hari ini, Batam lebih pantas disebut:
Free Mafia Zone. (*)

Profil penulis: Monica Nathan, konsultan di bidang teknologi informasi. Hidup di dunia modern, tapi hatinya selalu kembali pada akar: Melayu dan Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *