Luka Purajaya, Luka Tempatan Yang Bisa Berubah Menjadi Pergerakan Masif di Batam

Monica Nathan.

Oleh: Monica Nathan

Bahasa Indonesia lahir dari tanah yang kecil. Sebuah pulau mungil di Tanjungpinang, namanya Pulau Penyengat.

Dari pulau itulah Raja Ali Haji menulis Gurindam Dua Belas — kitab moral bangsa. Dari pena dan pikirannya lahir tata bahasa pertama yang menjadi cikal bakal bahasa persatuan Indonesia.

Ironisnya, setelah seratus tujuh puluh tahun, tanah kelahiran bahasa itu justru menjadi saksi perobohan lain — bukan lagi rumah kata-kata, tapi rumah seorang anak Penyengat sendiri. Namanya Megat Rurry Afriansyah, pemilik Hotel Purajaya, yang dirobohkan paksa oleh otoritas di Batam.

Dari Pulau Bahasa ke Pulau Reklamasi

Megat Rurry bukan sekadar pengusaha. Ia adalah cucu peradaban — darahnya mengalir dari Penyengat, tanah tempat bahasa dan marwah Melayu lahir. Purajaya dibangunnya bukan semata bisnis, tapi lambang kecil bahwa anak Penyengat masih bisa berdiri tegak di tanahnya sendiri.

Tapi suatu pagi, alat berat datang lebih cepat dari doa. Bangunan yang ia bangun bertahun-tahun diratakan hanya dalam hitungan jam. Tak ada dialog, tak ada penghormatan.
Yang ada hanyalah surat, tanda tangan, dan barikade aparat. Semuanya rapi — seperti proyek.

Begitulah negeri ini memperlakukan anak kandungnya: yang lahir dari tanah marwah, tapi dianggap gangguan oleh kekuasaan.

Hotel Purajaya dan simbol-simbol Melayu dalam arsitektur bangunan serta perabotan di dalamnya, kini tinggal kenangan, pasca dirobohkan Akim dan konsorsiumnya Juni 2023.

Negeri yang Lupa Asalnya

Kita sering mendengar pejabat berpidato tentang nasionalisme, tentang cinta budaya, tentang melindungi bahasa persatuan. Tapi di saat yang sama, bahasa itu sendiri kini tidak lagi punya rumah di tanah kelahirannya.

Penyengat hanya disebut di buku pelajaran, sementara di Batam — tempat darah Melayu seharusnya berdaulat — keputusan-keputusan penting justru diambil tanpa nurani. Reklamasi berjalan, hotel dirobohkan, dan rakyat Melayu hanya jadi penonton.

Negara yang mengaku lahir dari Sumpah Pemuda lupa bahwa “Bahasa Indonesia” yang diikrarkan pada 1928 adalah bahasa Melayu dari Riau-Lingga, bukan dari mana pun. Bahasa yang dulu lahir untuk menyatukan bangsa, kini dipakai untuk menulis surat penggusuran.

Rury Afriansyah, Direktur PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Purajaya, yang berjalan di jalur saudagar Melayu. Menanti keadilan.

Ketika Marwah Tak Lagi Punya Nilai

Kata “Purajaya” berarti kemenangan mulia. Tapi apa artinya kemenangan bila marwah dikalahkan?

Purajaya bukan sekadar bangunan hotel. Ia simbol betapa mudahnya idealisme rakyat kecil dikalahkan oleh kekuasaan besar. Ia cermin betapa jauh bangsa ini melangkah dari akar moralnya.

Raja Ali Haji dulu menulis,

“Barang siapa tiada memegang agama, sekali-kali tiada boleh dibilang nama.”

Hari ini, seolah nasihat itu dibalik:

Barang siapa memegang kekuasaan, boleh mempermainkan nama dan hukum sesuka hatinya.

Hotel Purajaya dirobohkan tanpa dasar hukum oleh mafia tanah. Salah satu tanggungjawab pemerintah untuk membuktikan mafia tanah akan dibasmi di bawah Prabowo Subianto.

Luka Purajaya

Hotel Purajaya adalah mahkota keluarga. Dibangun sang ayah sebagai lambang kebanggaan Melayu. Ketika hotel itu dirobohkan tanpa kejelasan hukum, Rurry merasa dadanya ikut runtuh.

“Saya gagal mempertahankan apa yang Papa bangun. Padahal itu hadiah perkawinan perak dari Papa untuk Mama,” ucapnya pelan.

Ibunda yang berdarah bangsawan hanya meminta satu hal: agar interior dibuat dengan tema dan nuansa Melayu — kayu ukir, warna keemasan, motif tanjak di dinding. Semuanya dirancang untuk menjadi rumah bagi tamu-tamu yang ingin merasakan hangatnya jiwa Melayu.

Kini, semua itu tinggal kenangan. Dengan hilangnya Purajaya, rasa bersalah itu menancap. Rurry tahu, Purajaya bukan sekadar bisnis — itu simbol marwah keluarga dan masyarakat Melayu.

Kepri Memanas

Dan Purajaya bukan satu-satunya luka. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak titik di Kepri memanas. Dari Rempang yang penuh tangisan, hingga kampung-kampung tua di Barelang yang terancam digusur tanpa solusi. Tokoh dan masyarakat Melayu diusik dengan cara yang tak adil — rumah dirobohkan, izin dicabut, sejarah dihapus.

Mereka bukan menolak pembangunan. Mereka hanya ingin dihormati. Tapi yang datang bukan dialog, melainkan intimidasi berseragam.

BP Batam, lembaga yang seharusnya menjaga keseimbangan ekonomi dan sosial, kini berubah menjadi alat eksploitasi. Lembaga ini lupa bahwa Batam berada di bawah payung otonomi daerah Kepulauan Riau, bukan di atasnya. Yang dulu disebut “otorita pembangunan” kini lebih mirip “otorita penguasaan.”

Rakyat melihat bagaimana lahan, laut, dan nama baik dijadikan komoditas. Pembangunan hanya berpihak pada segelintir, sementara masyarakat tempatan didepak dari tanah kelahirannya sendiri.

Rezim baru datang dengan janji “transformasi”, tapi yang terasa di Kepri adalah transaksi. BP Batam memoles diri dengan kata-kata digitalisasi, green development, dan investasi asing, tapi di baliknya: hilang rasa, hilang marwah, hilang keadilan.

Demonstrasi warga Rempang di Kantor BP Batam, 11 September 2023.

Dari Bahasa ke Kejujuran

Bahasa Indonesia adalah anugerah besar bangsa ini. Tapi jangan lupa: ia lahir dari kejujuran Melayu — dari lidah yang lembut, dari hati yang takut kepada Allah, dari budaya yang menjunjung adab dan marwah.

Kejujuran itu kini jadi barang langka. Di meja rapat, di kantor izin, bahkan di pengadilan, bahasa kita jadi topeng. Indah di bibir, busuk di perbuatan. Negara yang dulu berutang pada Penyengat kini menagih kepada rakyatnya dengan cara yang kasar.

Kepri: Negeri yang Dihapus dari Peta Hati

Nama “Riau” kini lebih dikenal di daratan. Sedangkan “Kepulauan Riau”, tempat bahasa lahir, nyaris lenyap dari peta perhatian nasional. Padahal di pulau-pulau inilah bangsa ini belajar arti kesantunan, belajar menulis dengan logika, dan berbicara dengan rasa.

Kini, masyarakat tempatan hidup di bawah bayang-bayang otoritas yang tak kenal sejarah. Mereka diatur, digusur, direklamasi, tapi tak pernah benar-benar diajak bicara.

Padahal, dari laut dan bahasa mereka lah bangsa ini lahir. Kalau bukan Kepri yang disebut “daerah istimewa”, lalu siapa?

Gurindam 12 dan akar bahasa Melayu sebagai akar Bahasa Indonesia.

Bahasa yang Kembali Menuntut

Purajaya mungkin telah dirobohkan. Tapi simbolnya tak bisa dihancurkan. Ia akan hidup di hati orang-orang yang masih percaya bahwa keadilan tidak boleh tunduk pada izin, dan marwah tidak bisa dibeli oleh proyek.

Mungkin bangsa ini perlu belajar lagi dari bahasa yang lahir di Penyengat – bahasa yang jujur, beradab, dan penuh rasa malu kepada Tuhan.

Karena jika negara terus menindas tanah asal bahasanya, maka cepat atau lambat, bahasa itu sendiri akan kehilangan maknanya.

Negeri ini boleh menulis ribuan peraturan, tapi tak akan berdaulat jika tak menghormati tanah di mana bahasanya lahir.

Profil penulis: Monica Nathan, konsultan di bidang teknologi informasi. Hidup di dunia modern, tapi hatinya selalu kembali pada akar: Melayu dan Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *