* Surat Terbuka Rury Afriansyah kepada Presiden Prabowo
Yang terhomat: Bapak Prabowo Subianto.
Perobohan Hotel Purajaya di Batam tanpa dasar hukum. Perobohan tersebut hanyalah puncak gunung es dari masalah yang jauh lebih besar. Peristiwa itu menelanjangi rapuhnya keadilan hukum, menguak kuatnya mafia tanah, dan membuka luka lama soal reklamasi ilegal yang menggerus pesisir Kepulauan Riau.
Purajaya menjadi simbol — bukan sekadar bangunan yang dirobohkan, melainkan marwah masyarakat Melayu dan hak rakyat yang diinjak. Di baliknya, kami melihat:
1. Keadilan Hukum yang Tumpul
* Laporan pidana yang “dicegat” oknum, proses hukum yang berlarut, dan aparat yang seolah berpihak pada pemodal.
* Rakyat kecil kesulitan mencari keadilan karena mafia dan kepentingan politik menutup jalan.
* Ajuan ke DPR yang seolah hanya formalitas: meski telah dilakukan Rapat Dengar Pendapat Umum dan diserukan pembentukan Panitia Kerja (Panja), hingga kini tak terlihat kerja nyata. Tidak ada langkah investigasi serius terhadap BP Batam, sebagaimana desakan publik dan tokoh seperti Habiburokhman. Panja yang dibentuk terkesan hanya sandiwara, memberi harapan semu tanpa hasil nyata.
2. Mafia dan Korupsi yang Mengakar
• Praktek suap dan “jual-beli izin” menjadi rahasia umum.
• Kekuasaan uang mengalahkan hukum dan merampas hak masyarakat adat.

3. Reklamasi Ilegal & Pencemaran Laut
* Pesisir Kepri kian tercemar: tumpahan minyak hitam berulang, ekosistem laut rusak, nelayan kehilangan mata pencaharian.
* Reklamasi tanpa kajian lingkungan merusak hutan bakau dan menenggelamkan identitas pesisir.
* PP 25/2025 dan PP 28/2025 memberi kewenangan luar biasa kepada BP Batam, melampaui undang-undang yang seharusnya menjadi acuan. Dengan alasan ‘efisiensi investasi,’ kedua PP ini memusatkan wewenang reklamasi, pengelolaan lahan, dan perizinan di satu badan, nyaris tanpa mekanisme pengawasan—membuka ruang perampasan lahan, kerusakan lingkungan, dan pengaburan identitas Batam–Kepri.
4. Pelanggaran Hak Asasi Manusia
* Masyarakat adat—terutama rakyat Melayu—beserta para pemilik lahan kehilangan hak atas tanah warisan mereka. Tanah yang selama ini menjadi identitas budaya dan sumber penghidupan dialihkan tanpa persetujuan yang sah.
* Warga yang menolak mengalami intimidasi, sementara suara mereka tidak didengar. Hak untuk menyampaikan pendapat dan mempertahankan tanah leluhur seakan diredam oleh kekuasaan modal dan kepentingan politik.
* Ganti Rugi Tanah, dengan contoh Rempang-Galang. Warga menyebut nilai ganti rugi tanah yang mereka terima hanya sekitar sepersepuluh dari harga wajar. Proses penilaian dan distribusi dana dinilai tidak transparan, ada dugaan korupsi sehingga dana tidak sampai ke pemilik hak. Masyarakat mendesak pemerintah pusat dan aparat hukum melakukan investigasi menyeluruh agar hak warga dipulihkan.

Tuntutan Kami
Demi keadilan dan masa depan Kepulauan Riau—dan Indonesia—kami mendesak:
1. Pembentukan Tim Investigasi Independen: Segera menelusuri perobohan Purajaya, menindak tegas oknum aparat maupun mafia yang terlibat.
2. Moratorium Reklamasi dan Audit Lingkungan Menyeluruh: Hentikan semua proyek reklamasi sampai ada kajian lingkungan dan partisipasi masyarakat.
3. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu: Pastikan proses hukum berjalan transparan, dari tingkat daerah hingga pusat.
4. Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Menetapkan payung hukum yang menjamin hak kepemilikan tanah adat serta hak hidup masyarakat pesisir.

Penutup
Bapak Presiden Yang Terhormat.
Kepulauan Riau bukan hanya “aset ekonomi”, tetapi benteng sejarah, budaya, dan ekologi Nusantara. Dari tanah inilah bahasa Melayu tumbuh, yang kemudian diangkat sebagai bahasa persatuan Indonesia. Kejadian perobohan Purajaya membangunkan perjuangan rakyat Melayu. Jangan biarkan mafia dan korupsi merampasnya. Kami menaruh harapan agar Bapak memimpin langkah nyata—bukan sekadar janji—untuk menegakkan hukum, melindungi lingkungan Batam dan Kepri, dan memulihkan marwah dan hak rakyat Melayu.
Hormat saya,
Megat Rurry Afriansyah.(*)
Redaksi.