Dari Semenanjung Malaya (Penyengat) Hingga ke PBB New York

Megat Rury Afriansyah,.

Catatan Perjuangan Megat Rurry Afriansyah

Pulau Penyengat, 2 April 1980.

Di pulau kecil yang menjadi jantung sejarah Kesultanan Riau-Lingga, di situlah Megat Rurry Afriansyah lahir. Dua kakaknya lahir di Jakarta karena sang ayah mengikuti kakek yang kala itu seorang pejabat yang lama bertugas di ibu kota. Namun Rurry—lahir di tanah marwah. Seakan disiapkan untuk menanggung takdir lain: Menjaga kehormatan Melayu.

Ayahnya, Ir. H. Zulkarnain Kadir, bukan orang biasa. Pada 1972 ia ikut rombongan pertama yang membuka Batam. Ketika masih dikelola oleh PERTAMINA, sebelum Otorita Batam. Saat Tanjungpinang masih ibu kota tua Provinsi Riau, dan Batam hanyalah hutan serta semak, Zulkarnain sebagai salah satu staff inti di bidang Perencanaan Otorita Batam.

Jalan tanah menjadi aspal, membuka hutan bakau di timur laut Pulau Batam, yang kemudian menjadi pusat perdagangan dan dikenal dengan nama Nagoya. Juga membangun pusat pertokoan dengan rumah-rumah toko (ruko) di kawasan itu. Kini semua orang yang kenal Batam, pasti mengetahui kawasan Nagoya, yang membuat Batam hidup sebagai pusat perdagangan.

Dan Pertamina pada kala itu mendirikan masjid di bukit. Yang kini kita sebut seagai Bukit Senyum. Posisinya menghadap Singapura. Megah, asri, penuh simbol persaudaraan. Setiap Idul Fitri Rurry kecil diajak shalat ke sana, meski jauh dari rumah. ”Kenapa harus ke situ, bukan masjid dekat rumah?” tanyanya pada sang ayah, namun respon ayah hanya senyum—seakan. Seolah ingin menanamkan jejak sejarah ke memori anak-anaknya, sambil melintasi jalan beraspal hasil perencanaannya.

Lokasi Hotel Purajaya di Pulau Batam.

Darah Perantau, Jiwa Bangsawan

Dari istri ayah Zulkarnain Kadir, yakni pihak ibu Rurry, mengalir darah bangsawan Melayu. Sementara dari pihak ayah, darah pejabat perantau yang lama bermukim di Jakarta. Tak heran setiap liburan panjang keluarga ini selalu kembali ke ibu kota.

Tahun 1970, orang tua Rurry kembali ke Kepulauan Riau karena kakek dari pihak ibu sakit keras. Dengan modal hanya Rp2.000, mereka pindah dari Jakarta ke Tanjungpinang. Ayahn bekerja di Pekerjaan Umum (PU), membangun ruko dan pusat perdagangan di Pulau Batam, sementara sang ibu berjualan kue yang dititipkan di kantor Otorita Batam. Ketika itu bahkan mencari tempat makan layak pun sulit di Batam.

Gaji pertama dari institusi Otorita Batam berbarengan, seolah menandai lahirnya anak ketiga. Batam mulai bergairah dari sejak itu. Lima tahun kemudian lahirlah Rurry di Pulau Penyengat. Saat ia berusia empat tahun, sang ayah mundur dari birokrasi dan memilih jalur swasta. Tetap membangun Batam dengan keringat sendiri.

Kota Batam Tahun 2024.

Riau Terbelah Identitas Dicari

Sejak kecil Rurry disuapi kisah tanah leluhurnya, yakni Riau sebelum 1945. Pemindahan ibu kota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru 1958, dan perjuangan pemisahan Kepulauan Riau, hingga lahirnya provinsi sendiri pada 2002. Ia paham betul mengapa ‘Riau’ selalu diperebutkan.

Dulu, ketika orang menyebut Riau, yang terbayang adalah gugusan pulau di sekitar Bintan dan Penyengat — Jantung Kesultanan Riau-Lingga, dan pusat lahirnya bahasa Melayu baku. Di sinilah Raja Ali Haji menulis Gurindam Dua Belas dan dari sinilah akar Bahasa Indonesia tumbuh.

Traktat London 1824 memisahkan dunia Melayu. Inggris mengambil Malaya dan Singapura, sementara Belanda memegang Sumatera Timur dan Kepulauan Riau. Kesultanan tetap berdiri, tetapi makin terbelah hingga akhirnya dibubarkan Belanda pada 1911. Ketika Indonesia merdeka, nama ‘Riau’ dibawa ke daratan Sumatra. Pulau-pulau Melayu kehilangan nama aslinya.

”Kalau kita tak kenal sejarah, kita tak kenal jati diri,” pesan Tengku Fuad, tokoh Melayu Kesultanan Riau Lingga, sebuah kalimat yang menjadi kompas hidup Rurry.

2014: Titah Para Sesepuh

Pada 2014 para tetua Melayu — sahabat perjuangan ayahnya — memanggil Rurry. ”Jangan hanya jadi saudagar,” ujar mereka. ”Dedikasikan hidupmu untuk masyarakat Melayu. Rebut kembali nama Riau. Jadikan Kepri daerah istimewa. Bangunkan kembali semangat Melayu.”

Rurry menerima amanah itu. Ia diangkat sebagai Ketua Saudagar Rumpun Melayu pd tahun 2017 dan segera mendirikan Koperasi Melayu.

Ibu-ibu di pulau dibekali mesin batik, alat tenun, dan perlengkapan kemasan untuk kerupuk serta kuliner khas Melayu. Nelayan mendapat bibit keramba, petani diberi pupuk. Bukan uang tunai — Rurry ingin mereka berdiri di kaki sendiri.

”Jangan hanya puas dengan ikan, nasi, dan secangkir kopi,” pesannya. ”Melayu harus mandiri, bukan sekadar menjual tanah lalu menyesal.”\

Kondisi Hotel Purajaya beberapa saat setelah dihancurkan oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa tanpa penetapan Pengadilan Negeri (PN).

Purajaya: Mahkota yang Dirampas

Puncak kebanggaan keluarga adalah Hotel Purajaya. Soft launch 1996. Hotel itu menjadi simbol kerja keras ayahnya, sekaligus lambang marwah Melayu di Batam. Di hotel itulah konsep dan gerakan Provinsi Kepulauan Riau gelorakan. Hingga akhirnya lahir Undang Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau sebagai provinsi ke-32 di Indonesia.

Undang-Undang pembentukan Provinsi Kepulauan Riau itu, tidak terlepas dari peran Zulkarnain Kadir, pemilik Hotel Purajaya, yang dua kali dikunjungi Presiden Abdurrahman Wahid atau Presiden Gusdur.

Namun, pada 2023, Hotel Purajaya dirobohkan tanpa dasar hukum. Seolah pemiliknya diperlakukan sebagai musuh. Darah Rurry mendidih!

Ia melapor ke Polda—dicegat. Ke DPR—dibentuk Panja, tak berbuah. Surat ke Presiden — tak berbalas.

Di balik puing, ia melihat jejaring gelap: Mafia lahan, pejabat yang bungkam, dan uang besar yang menutup semua pintu. Peraturan Pemerintah 25/2025 dan 28/2025 memberi BP Batam ”super power” — celah yang dimanfaatkan. Nama Asri alias Akim disebut sebagai bandar uang.

”Mereka punya ratusan miliar dolar,” ujar Rurry. ”Saya hanya punya masyarakat Melayu yang berdarah pejuang.”

Arsi alias Akim, pengusaha di balik perobohan Hotel Purajaya, juga dikenal sebagai Mafia Tanah di Batam.

Dari Koperasi ke Medan Perlawanan

Sejak Purajaya runtuh, seluruh tenaga Rurry tercurah pada perjuangan hukum dan pengembalian marwah Melayu. Koperasi tetap berjalan, tetapi fokusnya kini perlawanan; menulis sejarah, menuntut hak, menggugat aturan yang menindas.

Ia mengingatkan bahwa Kesultanan Riau-Lingga tak pernah menyerahkan peta dan tanah kepada siapa pun — bahkan bila harus diuji di Den Haag. Ia mendorong agar Riau-Lingga diakui sebagai Daerah Istimewa, demi menjaga martabat dan marwah.

”Kami bukan paling bersih, tapi kami suka membersihkan. Bukan paling jujur, tapi kami menghargai kejujuran. Bukan paling baik, tapi kami selalu mengusahakan kebaikan,” ujar Tengku Fuad — kalimat dari penyengat yang kini sering di ingat Rurry.

Komisaris Utama PT Pasifik Estatindo Perkasa, Bobie Jayanto., juga putra dari Akim, pewaris  Pasifik Group yang bertanggungjawab dalam perobohan Hotel Purajaya, Juni 2023.

Pantun Marwah Melayu

Rurry kerap menutup pidatonya dengan pantun ciptaannya sendiri:

Bukan kayu sembarang kayu
Kayu kami tumbang ke tanah
Bukan Melayu sembarang Melayu
Inilah Melayu, si tuan rumah.

Apa tanda sebatang kayu
Tempat bersandar di kala sunyi
Apa tanda kami Melayu
Tak banyak bising, tak banyak bunyi.

Apa tanda sebatang kayu
Ditual-tual jadi sagu
Apa tanda kami Melayu
Jangan diusik, jangan diganggu.

Sedap rasa si gubal sagu
Makan bersama gulai keli
Jangan usik tanah Melayu
Harga diri tak bisa dibeli.

Lambang Provinsi Kepulauan Riau. Tanah milik Melayu, Riau Lingga. Kini tinggal lambang, dan marwahnya mulai memudar.
Lambang Provinsi Kepulauan Riau. Tanah milik Melayu, Riau Lingga. Kini tinggal lambang, dan marwahnya mulai memudar.

Harapan di HUT ke-23 Kepulauan Riau

Menjelang ulang tahun ke-23 Provinsi Kepulauan Riau, doa Rurry tegas dan secara resmi bersurat ke PBB di New York prihal keadilan untuk semua elemen2 Bangsa Melayu sekaligus penuh kasih:

”Semoga Kepri tetap menjadi rumah yang damai bagi siapa pun, tempat di mana marwah Melayu dijaga, alam dilindungi, dan keadilan ditegakkan. Semoga pemimpin kita mengutamakan rakyat, bukan hanya angka dan kepentingan sesaat. Dan semoga generasi muda berani berdiri tegak, melanjutkan perjuangan tanpa takut pada uang dan kekuasaan.”

Bagi Megat Rurry Afriansyah, HUT ke-23 bukan sekadar pesta. Tapi lebih pada memaknai nya. Ini panggilan untuk memastikan Riau Kepri tumbuh makmur tanpa kehilangan jati diri — ramah pada dunia, namun teguh dalam menjaga marwah Melayu adalah harga yg tidak ada nilai tawar nya (mutlak).

Salam joeang bangse Melayu.

#save_bumiputra
#save_riaukepri
#save_marwahmelayu (*)

Penulis adalah praktisi bisnis berdarah bangsawan Melayu Kepulauan Riau, bergelar Megat, putra Zulkarnain Kadir, pemilik Hotel Purajaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *