Oleh: Redaksi
CATATAN redaksi tentang siapa atau pihak mana yang paling bertanggungjawab dalam kasus pencabutan lahan dan perobohan Hotel Purajaya, hasil analisa dari sejumlah nara sumber pegiat hukum serta ahli pertanahan di Kementerian Dalam Negeri menempatkan BP Batam sebagai pihak utama yang bertanggungjawab. Pertanggungjawaban yang dimaksud dalam kerangka administrasi publik dan perlindungan hak penerima alokasi serta prosedur hukum.
Alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan, antara lain: Sebagai badan yang mengelola alokasi lahan, BP Batam punya kewenangan yang besar dan berkewajiban memastikan prosedur dijalankan dengan adil dan transparan. Jika pembongkaran dilakukan tanpa pengadilan atau penyelesaian yang tepat, maka tanggungjawab institusional jatuh ke BP Batam dan PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP).
Namun, jika diamati melalui dasar-dasar yuridis pencabutan alokasi dari PT Dani Tasha Lestari (DTL) dan kemudian dalam waktu singkat di akhir 2022, dengan proses kilat tanpa ada uji publik, maka pihak yang bertanggungjawab adalah BP Batam. Tanggapan masyarakat atas pencabutan alokasi lahan dan kemudian penyerahan alokasi lahan ke pihak lain, harus diberi ruang, mengingat alokasi yang dimaksud bukan tanah kosong, tetapi ada sekitar Rp700 miliar lebih nilai bangunan dan fasilitas yang dimiliki oleh PT DTL, dan sesuai dengan peruntukannya.
Masyarakat, melalui publikasi yang tidak dapat dibantah menunjukan bahwa pihak pengelola (PT DTL) menempatkan posisi bahwa mereka telah mengajukan dan tidak diberi kesempatan untuk memperpanjang alokasi tanah. Itu berarti, BP Batam telah gagal menyediakan asas keadilan prosedural dalam pengalihan tanah.

Kasus ini menyangkut hak aset, potensi kerugian negara, dan perlindungan investor maka tanggungjawab institusional sangat penting. BP Batam sebagai institusi penentu mutlak dan mandiri dalam alokasi lahan di Pulau Batam, tidak dapat mengelak adanya indikasi itikad buruk (baca: kejahatan) dalam mengarahkan lahan dicabut dan bangunan dirobohkan. Investasi sekecil apa pun, mestinya diselamatkan oleh BP Batam, tetapi yang dipertontonkan, BP Batam bertindak sebagai ‘algojo’ terhadap investor.
Meski PT DTL tetap punya tanggungjawab untuk memenuhi persyaratan alokasi dan memperpanjang alokasi apabila masa alokasi habis, tetapi kelemahan administrasi dari pihak PT DTL dapat ditoleransi oleh regulasi dengan pemberian beban yang disebut denda.

Fakta-kunci
Beberapa fakta yang tercatat dari publikasi antara lain: BP Batam menyatakan bahwa alokasi lahan seluas 10 ha untuk Hotel Purajaya berakhir pada 7 September 2018, dan bahwa PT DTL tidak mengajukan perpanjangan alokasi atau tidak melampirkan rencana bisnis serta kesanggupan membayar Uang Wajib Tahunan (UWT). Tetapi sebaliknya, PT DTL menyanggah bahwa mereka tidak diberi kesempatan memperpanjang alokasi atau bahwa BP Batam menolak permohonan mereka.
Dalam proses pembongkaran/perobohan hotel pada 21 Juni 2023, PT DTL menyatakan bahwa pembongkaran dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan bahwa mereka sedang menempuh jalur hukum. DPR RI melalui Komisi VI telah memanggil pihak-terkait karena dugaan ‘mafia tanah’ dan adanya indikasi pelibatan oknum di BP Batam.

Dengan melihat fakta itu, ada beberapa aspek tanggung jawab yang bisa diidentifikasi, antara lain: Tanggung jawab administratif/institusional BP Batam, jika benar BP Batam menyebut berakhirnya alokasi dan kemudian melakukan pembongkaran tanpa complying dengan prosedur yang berlaku (contoh: memberikan kesempatan perpanjangan, menunggu mekanisme hukum, adanya pengadilan sebelum eksekusi), maka BP Batam mempunyai tanggung jawab yang signifikan.
Prosedur tata usaha negara, hak pengelolaan lahan, dan jaminan akan hak pemegang alokasi seharusnya diikuti. Terdapat tudingan bahwa prosedur itu tidak dipenuhi oleh BP Batam. Meski BP Batam mengklaim telah mengikuti prosedur dan bahwa pihak PT DTL tidak mengajukan atau tidak melampirkan persyaratan. BP Batam harus berdiri sebagai pelindung terhadap investasi, bukan sebagai ‘hakim’ dan ‘jaksa penuntut’ terhadap kelemahan investor.
Tanggung jawab pengawasan atau pihak lain, karena muncul juga indikasi dugaan korupsi, mafia tanah, adanya alokasi ke pihak ketiga (PT Pasifik Estatindo Perkasa) setelah alokasi PT DTL yang dipersoalkan, maka pihak-lain yang memfasilitasi atau mengambil keuntungan bisa punya tanggungjawab. Argumen itu diperkuat oleh, misalnya oknum di BP Batam atau badan pengurus lahan yang tidak transparan.
Bukti adanya mafia lahan yang ber’main’ dalam kasus Purajaya, adalah terbukti lahan seluas 30 hektar itu hingga tahun ketiga sekarang, tidak ada progress pengembangan yang sesuai dengan peruntukan. Malah konsorsium di balik ‘penadahan’ lahan itu terindikasi sedang menggiring semua lahan strategis ke dalam kelompok usaha Pasifik. (Bersambung)
Redaksi.

