Dari Riau–Lingga ke Den Haag: Petisi Marwah Melayu untuk Pengakuan Daerah Istimewa

Peninggalan sejarah Kesultanan Riau Lingga. Simbol kebersaran Melayu Riau Lingga yang ditelantarkan.

Penulis: Monica Nathan

Den Haag, 11 October, 2025

Dalam momentum bersejarah bagi masyarakat Melayu Kepulauan Riau, Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga (LAKRL) bersama lembaga adat yang bernafaskan Melayu di Kepulauan Riau telah menyiapkan permohonan pengakuan internasional kepada Peace Palace (Vredespaleis) di Den Haag, Belanda. Melayu Kepulauan Riau mesti bersatu padu mendukung langkah tersebut untuk menegakkan marwah bangsa.

Tokoh pemuda Melayu Riau Lingga, Megat Rury Afriansyah, menyebut langkah itu bertujuan untuk mendapatkan pengakuan moral dan historis dunia internasional atas status khusus (Daerah Istimewa) bagi wilayah Riau–Lingga, yang secara historis merupakan jantung peradaban Melayu dan asal-usul Bahasa Indonesia. Bersama penulis, gugatan untuk mendapatkan pengakuan internasional telah disusun bersama, namun harus didukung oleh semua kalangan yang mencintai ke-Melayu-an.

Monica Nathan: Profil penulis: Monica Nathan, konsultan di bidang teknologi informasi. Hidup di dunia modern, tapi hatinya selalu kembali pada akar: Melayu dan Indonesia.

Permohonan Pengakuan atas Status Historis dan Kultural Kepulauan Riau–Lingga

LAKRL, bukan sendiri untuk kalangan terbatas, tetapi untuk Melayu secara keseluruhan, sebab menurut Rury Afriansyah, semua komponen Melayu, baik Lembaga Adat Melayu (LAM), maupun seluruh unsur dan lembaga dengan warna Melayu Kepulauan Riau, harus bersatu. ”Kami bersama berniat menyampaikan permohonan kepada Registrar Peace Palace – Den Haag agar lembaga peradilan internasional tersebut memberikan perhatian dan pengakuan moral terhadap status historis dan budaya Kepulauan Riau–Lingga dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” jelasnya.

Di dalam LAKRL, ada Majelis Pemangku Adat, Dewan Pmangku Adat, Dewan Pendiri, Dewan Zuriat Kesultanan, Dewan Pembina, Dewan Kerabat, dan Dewan Pengurus. Sementara di Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri ada Dato’ Seri Setia Utama H. Abdul Razak, AB sebagai Ketua Umum LAM Kepri, dan Dato’ Wira Setia Laksana H. Raja Alhafiz, S.E. sebagai Sekretaris Umum serta pengurus dan penasihat. Semua, pada hakikatnya ingin menegaskan bahwa niat permohonan tersebut bukan bentuk perlawanan politik, melainkan seruan damai untuk keadilan kultural dan sejarah.

Posisi strategis Melayu Riau Lingga (Kepulauan Riau) di pusat peradaban dan perdagangan dunia.

Isi Pokok Permohonan

1. Latar Historis

Kepulauan Riau–Lingga dengan pusat pemerintahan di Pulau Penyengat sejak abad ke-18 merupakan pusat kebudayaan dan pemerintahan Kesultanan Riau–Lingga (1824–1911). Dari istana ini lahir Raja Ali Haji, sastrawan dan ulama besar Melayu yang menulis Gurindam Dua Belas serta menyusun tata bahasa Melayu baku — fondasi utama Bahasa Indonesia modern.

2. Kehilangan Nama dan Identitas

Setelah kesultanan dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1911, wilayah ini kehilangan legitimasi politiknya. Tahun 1958 menjadi titik balik ketika nama “Riau” dipindahkan ke daratan Sumatra (Pekanbaru), membuat asal nama “Riau” di Kepulauan Riau tertutupi oleh kebijakan administratif.

Akibatnya, masyarakat adat yang dahulu menjadi pusat kebudayaan kini kehilangan pengakuan terhadap akar sejarah mereka.

Megat Rury Afriansyah, turut berjuang untuk kebesaran Melayu Riau-Lingga, mengajukan gugatan ke Den Haag untuk meraih kembali marwah Melayu.

3. Kondisi Saat Ini

Masyarakat adat di Kepri menghadapi situasi yang ironis. Tanah adat yang diwariskan turun-temurun kini harus “disewa kembali” dari pemerintah melalui sistem Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO).

”Kami tidak pernah menyerahkan tanah dan laut kami untuk dijadikan komoditas,” demikian pernyataan LAM dalam suratnya. “Kami hanya meminta keadilan dan perlindungan agar warisan leluhur tidak dilenyapkan oleh regulasi ekonomi.”

4. Tujuan Permohonan ke Peace Palace

LAKRL dan semua unsur Melayu di Kepri memohon dukungan moral dari Peace Palace untuk:
• Mengakui nilai historis dan kultural Riau–Lingga sebagai pusat lahirnya bahasa dan peradaban Melayu yang menjadi dasar Indonesia.
• Mendorong Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan pengakuan resmi berupa status Daerah Istimewa Riau–Lingga, dengan perlindungan hukum terhadap hak adat, budaya, dan lingkungan maritim.
• Memfasilitasi dialog internasional mengenai hak-hak masyarakat adat sesuai United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP, 2007).

Pernyataan Penutup

Lembaga Adat Kesultanan Riau Lingga menegaskan bahwa perjuangan ini tidak bertujuan memisahkan diri dari NKRI, tetapi justru menuntut keadilan dalam bingkai persatuan.

”Kepulauan Riau adalah tempat lahirnya bahasa Indonesia dan semangat kebangsaan. Mengakui Kepri sebagai daerah istimewa berarti menghormati akar Indonesia sendiri,” tulis surat tersebut.

LAKRL bersama semua unsur Melayu berharap agar dunia internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan UNESCO, turut mendorong pengakuan kultural ini sebagai bentuk penghormatan terhadap peradaban Melayu dan sejarah Indonesia. (*)

Profil penulis: Monica Nathan, konsultan di bidang teknologi informasi. Hidup di dunia modern, tapi hatinya selalu kembali pada akar: Melayu dan Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *