Negara Hukum; Hobi Menenggelamkan Kasus

Monica Nathan.

Oleh: Monica Nathan

Indonesia bangga disebut negara hukum. Tapi setiap kali hukum dijalankan, banyak pejabat mendadak gelisah — karena cermin yang mereka buat sendiri akhirnya menampakkan wajah sebenarnya. Maka lahirlah sistem yang ajaib: hukum tetap dijunjung tinggi, asal kepentingan yang salah berdiri lebih tinggi di atasnya.

Di negeri ini, hukum bisa bicara lantang — asalkan tahu kapan harus diam.

Purajaya: Ketika Bangunan Runtuh Bersama Nalar

Kasus Hotel Purajaya di Batam seharusnya menjadi alarm keras tentang rusaknya logika hukum. Tapi yang berbunyi justru alat berat. Gedung dirobohkan, pemilik diusir, dan alasan hukumnya terdengar manis: “administrasi lahan tidak diperpanjang.” Padahal yang runtuh bukan hanya beton — tapi wibawa hukum itu sendiri.

Di balik reruntuhan, terselip aroma uang besar. Konon, bohir di balik proyek pelabuhan dan lahan Batam Center sudah “mengamankan” sekitar Rp 800 miliar agar semua tetap tenang. Dan berhasil.

Tidak ada mafia yang ditangkap, pejabat diperiksa, atau pengusaha tersentuh. Yang tersisa hanya puing, kemarahan rakyat, dan negara yang berpura-pura tidak melihat.

Megat Rurry Afriansyah.

Gotong Royong ala Mafia

Indonesia dikenal karena budaya gotong royong. Di Batam, semangat itu tetap hidup — hanya saja dalam versi gelapnya. Antara mafia lahan, oknum aparat, pejabat rakus, dan partai besar, terbentuk sebuah sinergi yang solid.

Satu menandatangani, satu menekan, satu menghapus, satu menghitung setoran. Semuanya bekerja dalam diam, dalam efisiensi yang bahkan kementerian pun tidak bisa menandingi. Mungkin tugas utama mereka memang bisu dan tuli.

PP 25 dan 28 Tahun 2025: Surat Sakti Cuci Dosa

Untuk menutupi lubang hukum, lahirlah dua produk baru: PP Nomor 25 dan PP Nomor 28 Tahun 2025. Katanya demi “efisiensi investasi.” Nyatanya, dua peraturan ini menyerahkan kekuasaan penuh kepada BP Batam untuk mengalihkan, mencabut, dan menguasai lahan tanpa kontrol kementerian teknis.

Hasilnya? Tindakan melanggar hukum kini bisa dilakukan dengan dasar hukum baru. Karena kalau aturan belum ada, buat saja aturan yang membenarkan pelanggaran.

Ironisnya, Purajaya dirobohkan tahun 2023, dua tahun sebelum PP itu lahir. Artinya, tindakan itu tanpa dasar hukum yang sah. Namun proyek reklamasi sudah berjalan, pancang sudah dipasang, alat berat sudah menggali laut, dan juklak-juknis belum ada. Ketika hal ini ditanyakan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan, jawabannya enteng:

”Itu urusan BP Batam.” Padahal undang-undang jelas menyebut: reklamasi laut adalah kewenangan KKP. Tapi di republik logika terbalik ini, pelanggar hukum justru lebih percaya diri daripada penegak hukum.

Proyek diawasi Kejati Kepri, namun penuh dengan penyimpangan.

Aktor Terlalu Cepat Main

Drama Purajaya tampak seperti film dengan sutradara mabuk. Semua aktor sudah punya peran — tapi ada yang terlalu bersemangat. Belum ada aba-aba, ekskavator sudah menari. Belum ada izin, tanah sudah rata. Belum ada dasar hukum, proyek sudah jalan. Dan ketika publik bertanya, jawabannya klasik:

”Sesuai aturan yang berlaku.” Masalahnya, aturan itu belum ada.

Prabowo dan Demokrasi 58 Persen

Lebih menyakitkan lagi, pemerintah pusat memilih diam. Presiden Prabowo, yang dulu berapi-api bicara soal “bersih-bersih korupsi,” kini seperti kehilangan suara. Padahal Kepulauan Riau adalah salah satu wilayah yang memberinya kemenangan telak. Rakyat Melayu percaya, tapi kini kepercayaan itu dijawab dengan pembiaran.

Di luar negeri, Indonesia masih bangga disebut “demokrasi terbesar ketiga di dunia.” Padahal di dalam negeri, rakyat masih harus di-amplopin untuk memilih, sementara hasilnya sudah diskenariokan: 58 persen, pasti menang.

Aksi perobohan hotel Purajaya oleh PT Pasiifik Estatindo Perkasa, pada 21 Juni 2023.

Negara yang Menyuruh Rakyat Jadi Satpam

Lucunya, rakyat yang sibuk cari makan justru disuruh jadi satpam moral pejabat. “Kalau lihat yang salah, viralkan,” kata pejabat. Padahal mereka punya buzzer bersenjata, media bayaran, dan isu pengalih perhatian.

Begitu satu kasus mencuat, tinggal buat skandal baru. Fokus publik berpindah, dan kasus lama tenggelam bersama nalar.

Purajaya dan Tenggelamnya Marwah Melayu

Purajaya bukan hanya milik satu pengusaha — ia milik simbolik masyarakat Melayu. Dan ketika hotel itu diratakan, marwah Melayu ikut terkubur.
Batu Ampar, Rempang, Gurindam 12 — semua punya cerita serupa. Rakyat kecil tersingkir, budaya dilenyapkan, dan pejabat sibuk menandatangani izin sambil tersenyum.

Sibuk kunjungan, sibuk foto, sibuk pencitraan. Yang hilang hanya satu: hati nurani.

Pusat mungkin ingin melupakan Melayu. Padahal dari Melayu-lah lahir bahasa Indonesia, akar yang kini dipotong dengan undang-undang.

Negara Hukum yang Tutup Mulut

Indonesia memang negara hukum. Tapi hukum kini punya tiga fungsi baru: menutup mulut, menutup telinga, dan menutup kasus. Ia bekerja sempurna terhadap rakyat kecil, tapi melempem di hadapan kekuasaan.

Mereka yang punya uang, partai, dan kenalan, bisa menabrak hukum sambil berfoto di depan baliho bertuliskan “bersih, transparan, dan akuntabel.” Sementara rakyat yang hanya punya kebenaran — dikubur hidup-hidup oleh dokumen bertanda “sah sesuai PP 25 dan 28.”

Faktanya, Purajaya dirobohkan dua tahun sebelum PP itu berlaku. Tapi negara berusaha mencuci dosa masa lalu dengan aturan masa depan.
Logika? Tak penting. Yang penting proyek jalan, amplop cair, laporan beres.

Dan di negeri yang katanya menjunjung hukum ini, yang ditenggelamkan bukan hanya kasus — tapi juga nurani. (*)

Profil penulis: Monica Nathan, konsultan di bidang teknologi informasi. Hidup di dunia modern, tapi hatinya selalu kembali pada akar: Melayu dan Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *