* Membongkar Jabatan Ex Officio Sebagai Produk Gagal Pemerintah (Bagian 1)
Azhari Hamid, Wartawan Nusa Viral
Batam, 16 September 2023.
PERLAWANAN masyarakat Melayu di Rempang dan Galang, disusul kemudian perlawanan komunitas Melayu dari hampir seluru penjuru Nusantara, disusul kemudian pencabutan Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL) di Rempang yang merugikan dunia usaha, membuktikan Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam inkompabilitas. Ex Officio Kepala BP Batam terbukti merupakan produk gagal pemerintah.
Berbagai masalah di Batam, dan kini kasus di Rempang, tidak selesai dan tidak akan pernah selesai di tangan sang Ex Officio. Bahkan kebijakan pemerintah semakin terlihat jauh dari solusi yang seharusnya diambil akibat di-prank oleh pejabat tak berkapasitas. Kepala BP Batam inkompatibilitas [suatu hal tidak dapat dirangkap (tentang jabatan); ketidakcocokan; ketidaksesuaian] dalam menjalankan kewenangannya, sebagai bukti jabatan rangkap yang diemban seorang Wali Kota Batam menjadi ex officio Kepala BP Batam adalah produk gagal pemerintah.
Seingat penulis, beberapa tahun lalu Ketua Kamar Dagang dan Industri Provinsi Kepulauan Riau, Ma’ruf Maulana, menyatakan hal yang sama, bahwa jabatan Ex Officio Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dijabat Wali Kota Batam merupakan produk gagal pemerintah. Dia menjelaskan banyak pihak menolak pengangkatan Wali Kota Batam sebagai ex Officio Kepala BP Batam dengan alasan kepala daerah, adalah jabatan politis sehingga jelas, tidak kompeten memimpin sebuah lembaga profesional seperti BP Batam. Hanya hitungan hari, berita yang merupakan fakta tersebut menghilang dari dunia maya.
Kita lihat Kasus Rempang yang dimulai dari Rapat penyusunan naskah Nota Kesepakatan Bersama tentang Special Economic Zone pada Senin, 26 Januari 2004 (19 tahun lalu) yang dihadiri oleh Wali Kota Batam Nyat Kadir, Wakil Wali Kota Batam Asman Abnur, Deputi Pengawas dan Pengendalian Otorita Batam Mustafa Widjaya, Kesubag Perundang-Undangan Pemko Amsakar, Thio Seng Peng, Wisnu Thandra, Karim Tano Thandra, Elizawatie Simon, dan Villi. Rapat menyetujui pendanaan dan biaya kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan pengembangan pembangunan dan pengelolaan Pulau Rempang termasuk pembebasan lahan.
Sebuah tindakan yang didasari ketidak-cakapan dalam jabatan, atau tindakan tak berpendidikan dalam intelektualnya, sehingga keluar kebijakan ‘sampah’ yang merugikan banyak investasi serta tenaga kerja yang hidup dari investasi itu.
Catatan redaksi
Kesepakatan itu kemudian berlanjut dengan penandatanganan Memorandum of Understanding pada 26 Agustus 2004 antara pihak pertama Nyat Kadir (Wali Kota) dengan pihak kedua Benyamin Balukh (Deputi Operasi Otorita Batam) dan pihak ketiga Tomy Winata, Erdin Odang, Kemal Syamsuddin atas nama PR Makmur Elok Graha (MEG). Mereka sefaham agar membangun Kawasan Wisata Terpadu (KWT) dan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) dan Kawasan Penyangga berupa perdagangan, jasa, hotel, pemukiman, dan sektor pembangunan yang terkait dengan proyek itu.
Di dalam nota kesepahaman itu, PT MEG diberi kewenangan membangun, namun terikat dengan Perda Kota Batam nomor 17 tahun 2001 tentang Kepariwisataan dan Perda Perubahan nomor 3 tahun 2003, yang semuanya terkait dengan pariwisata.
Pada hari yang sama, orang yang sama dalam jabatan yang sama membuat Perjanjian di notaris yang sama, Nurhayati Suryasumirat, SH. Dalam perjanjian kembali ditekankan PT MEG sebagai pemegang Hak Eksklusif untuk mengembangkan KWT dan KWTE di Rempang seluas 17.000 hektar sesuai Perda Kota Batam tentang Kepariwisataan. Dari 17.000 hektar itu, dikurangi 300 hektar buffer zone (penghijauan) dan dikurangi 300 hektar eks hunian Pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Tanah di sana akan diberikan dalam bentuk Sertifikat Hal Guna Bangunan (HGB) untuk jangka waktu 80 tahun.
Kemudian terbit hasil Tim Kajian MoU Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam, dengan PT MEG, yang ditandatangani oleh Wan Darussalam (Ketua Bappeda Kota Batam), Muhammad Nur (Kepala Biro Hukum dan Organisasi Provinsi Kepulauan Riau). Anggota tim terdiri dari Gubernur Kepri, Wakil Gubernur Kepri, Wali Kota Batam, Ketua Otorita Batam, Sekda Provinsi Kepri, Kakanwil BPN Kepri, Ketua Bapeko Pemko Batam, Asisten Ekbang Pemko Batam, Deputi Wasdal Otorita Batam, Kepala Biro Hukum dan Organisasi Provinsi Kepri, Direktur Lokhan Otirita Batam, Kabiro Perencanaan Otorita Batam, Kasub Dit Hak Atas Tanah Otorita Batam, Kabag Hukum Otorita Batam, Hamdan dari Kanwil BPN Kepri, Ahmad Dahlan (pengacara), Kabag Hukum Pemko Batam, Angling SH (Bagian Hukum Pemko Batam), dan Deni Nasution dari BKPM Pemko Batam.
Hasil kajian meminta agar substansi kesepakatan yang ada dalam MoU harus dievaluasi sesuai dengan perkembangan peraturan perundang-undangan. Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) di Pulau Rempang dan kawasan penyangga, pajak, retribusi daerah, dan penerimaan negara lainnya harus disetor. Di sini sudah ada masalah, di mana selama 19 tahun pasca diserahkannya 17.000 hektar di Rempang ke PT MEG, sudah berapa rupiah yang disetor ke kas BP Batam berupa UWTO, serta berapa rupiah disetor ke kas Pemko Batam berupa PBB, dan retribusi lainnya?
Di dalam hasil kajian itu, digaris bawahi mengenai Perkampungan tua. Perkampungan tua yang terdapat di Pulau Rempang dan pulau-pulau lainnya yang termasuk dalam nota kesepahaman tersebut harus tetap dipertahankan. Status lahan Rempang itu hingga sekarang masih berstatus Hutan Buru. Meski sebagian telah diurus penurunan status ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh enam perusahaan yang telah memperoleh izin, yakni (1) PT Golden Beach Resort seluas 365,31 hektar, (2) PT Villa Pantai Mutiara seluas 191,78 hektar, (3) PT Agrilindo Estate seluas 175,39 hektar, (4) PT Pantai Cermin Indah Lestari seluas 95,16 hektar, (5) PT Budidaya Aneka Buah seluas 579,42 hektar, dan (6) PT Camel Asia Internasional seluas 148 hektar.
Semua Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUJPL) yang pada prinsipnya mengubah status hutan, misalnya menjadi Hutan Produktif Konversi yang dapat digarap menjadi sarana wisata, dan lain-lain adalah berdasarkan surat Kepala BP Batam kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dengan adanya surat rekomendasi dari Kepala BP Batam, maka status hutan diubah untuk dapat dikelola. Kenapa Muhammad Rudi bisa mengeluarkan surat permohonan persetujuan pelepasan kawasan HPK (Hutan Produksi Konversi), pada 2021, dan sekarang dipaksa diserahkan kembali untuk ditarik dan dibatalkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan?
Surat rekomendasi yang diperoleh dengan berbagai cara, bukan gratis, oleh pengusaha, membuktikan Wali Kota Batam ex officio Kepala BP Batam inkompatibilitas dalam menjalankan kewenangannya. Kapasitas Kepala BP Batam yang dirangkap oleh Wali Kota Batam dengan memberi rekomendasi, dan satu tahun kemudian, dipaksa mencabut rekomendasi tersebut, telah merugikan banyak investor. Sebuah tindakan yang didasari ketidak-cakapan dalam jabatan, atau tindakan tak berpendidikan dalam intelektualnya, sehingga keluar kebijakan ‘sampah’ yang merugikan banyak investasi serta tenaga kerja yang hidup dari investasi itu. (Bersambung)