Menyimak berbagai kasus pertanahan di Pulau Batam, pelayanan air minum yang kian buruk, serta sederet masalah pelayanan publik serta korupsi yang menyengsarakan warga di pulau kala jengking ini, redaksi ingin menulis kembali kisah ‘Bulu Ayam’ yang pembawa harapan palsu (PHP) di suatu desa pulau. Sebuah kisah yang menyebabkan penderitaan warga sekampung akibat suatu tanda sukacita tetapi nyatanya hanya harapan palsu.
Alkisah, di suatu pulau tak jauh dari Semenanjung, bertumbuhlah suatu kebiasaan yang menjadi tradisi, dan kemudian menjadi adat yang diikuti secara turun-temurun di suatu desa suatu pulau. Satu keluarga yang ingin membuat kenduri dengan memotong ayam, lazimnya mengundang tetangga dengan menyebar bulu ayam di aliran parit desa. Dengan adanya pertanda bulu ayam di aliran parit, maka warga di desa mahfum bahwa ada yang akan menyelenggarakan kenduri, dan tentu saja mereka akan mendapat undangan makan.
Suatu ketika menjelang tengah hari, seorang pria, sebut saja namanya Awang Zaka, melihat bulu-bulu ayam bercecer di aliran parit desa itu. Pada saat yang sama, istrinya, Nayla sedang bersiap hendak ke kedai membeli keperluan bahan makanan untuk memasak, seperti ikan, cabai, bawang dan sebagainya. Nayla berencana memasak ikan gulai untuk disantap di siang hari, berhubung suaminya betah berada di rumah, tentu saja acara makan siang menjadi momen menyenangkan di kala suami istri dan anak mereka bisa makan siang bersama.
Tetapi Awang mencegah istrinya pergi belanja ke warung dan berkata: ”Nayla, tidak usah dulu repot-repot belanja ke warung. Sebentar lagi kita bakal makan daging ayam di kenduri tetangga. Bukankah kamu perhatikan di aliran parit desa ada bulu-bulu ayam berserakan pertanda sebentar lagi kita diundang makan? Tunda dulu ke warung, dan urus anak saja dulu sambil menunggu undangan,” kata suaminya.
Benar saja, Nayla memperhatikan ada beberapa helai bulu ayam betebaran di aliran parit desa. Dengan suka cita dia kembali ke kamar dan menyimpan dompetnya. Nayla kemudian memandikan anaknya yang masih kecil bernama Idrak, serta memilih baju terbaik untuk dikenakan kepada Idrak. Bukan itu saja, sang istri juga mandi kemudian bersolek di kamar sambil bersiul karena gembira.
”Kenapa Abang nggak mandi, pergilah mandi dan bersiap ke kenduri tetangga, aku sudah menyiapkan bajumu di kamar,” kata Nayla kepada suaminya yang masih asyik memainkan telepon genggam (gadget)-nya. Jam dinding di ruang tengah telah menunjukkan pukul 12.30 waktu setempat. Tentu sebentar lagi tetangga yang kenduri bakal datang mengundang keluarga itu untuk makan bersama di siang yang cerah itu.
Bukannya warga masyarakat di Pulau Batam dapat undangan makan daging ayam dalam kenduri, tetapi malah biawak yang bercokol di BP Batam yang mencabik-cabik ‘daging ayam’ yang seharusnya dinikmati rakyat. Lihat saja banyaknya keluhan pengusaha dan warga yang sering menjadi korban kebijakan yang merugikan warga, digusur dan lahannya dicabut. Sama seperti pengalaman pengusaha lokal yang berkeluh dan bertungkus lumus membesarkan usahanya, seperti Hotel Pura Jaya. Sekarang, daging ayamnya telah ditelan habis oleh biawak yang bercokol di BP Batam.
Catatan Redaksi.
Perut yang mulai keroncongan Awang membuat dia buru-buru mandi dan segera mengenakan kemeja terbaik yang dia miliki. Tak lupa pula Awang mengoleskan minyak rambut di kepalanya, sebagaimana lazimnya pria desa jika hendak bepergian ke pesta. Anak mereka, Idrak, yang masih berumur 3 tahun mulai merengek minta makan, karena rasa lapar yang dirasakan anak itu. Maklum, Idrak sedang dalam pertumbuhan. Ibunya Nayla, memberi dia permen untuk mengatasi kerewelan anaknya yang meminta makan.
”Kapan ya, tetangga kita datang mengundang makan di kenduri mereka? Ini sudah jam 1 siang, biasanya jam 11 sudah datang (mengundang),” gerutu Nayla di hadapan suaminya Awang. Tradisi di desa pulau itu, kenduri sering kali dilakukan pada siang hari, pas mata hari tegak lurus di atas ubun-ubun. Tetapi, kenapa kali ini undangan makan siang di kenduri yang diharapkan itu tidak kunjung datang? Pertanyaan itu mulai menguasai kepala Awang, sebab tidak biasanya seperti itu.
Meski kondisi itu tidak seperti biasanya, namun Awang menenangkan dirinya serta istri dan anaknya. ”Tapi tak apalah, kita sabar sedikit, mungkin tetangga yang menyelenggarakan kenduri mengundang banyak orang, sehingga masih sibuk menyampaikan undangan ke rumah-rumah di kampung,” jelas Awang untuk menenangkan istrinya serta anaknya yang sudah mulai kian rewel. Awang juga sebenarnya penasaran terhadap tetangganya yang menyelenggarakan kenduri, sebab biasanya undangan makan di kenduri sesuai kebiasaan tidak sesiang itu seperti itu disampaikan ke warga sekitar.
Untuk mengobati rasa lapar, Awang menyuruh istrinya membuatkan kopi, dan anaknya disuruh membeli roti ke warung sebelah. Awang menikmati kopi sambil menghisap rokok kretek yang tinggal beberapa batang di bungkusnya. Menonton TikTok dan IG di gadget miliknya, menjadi kegiatan yang disukai sebagai ‘pelarian’ dari rasa bosan menunggu datangnya undangan kenduri dari tetangga. Batang per batang, rokok sudah tinggal sebatang, namun undangan kenduri tidak datang. Istrinya Nayla pun sudah kelelahan menenangkan anaknya yang kelaparan, namun tidak ada tanda-tanda datangnya panggilan ke kenduri dari tetangga.
Sudah tiga bungkus roti yang dilahap anaknya, dan Idrak pun terlihat lemas kelaparan, meski telah melahap tiga potong roti, tetapi rasa lapar yang menyerang tidak dapat diatasi. Nayla mulai kasihan melihat anaknya. ”Aku masak saja ya Bang, nggak mungkin kita biarkan anak kelaparan, sedangkan undangan kenduri belum juga ada. Sampai kapan kita menunggu,” kata Nayla dengan nada sedih. Riasan rambutnya dan polesan bedak di wajahnya mulai rusak akibat keringat yang menetes dari kening wanita muda itu.
”Sabar lah, mungkin saja sebentar lagi mereka (yang kenduri) akan datang mengundang kita makan. Bukankah jadi tidak nikmat jika kita terlanjur makan kenyang, lalu kemudian datang undangan makan? Kita tunggu saja sebentar, siapa tau sebentar lagi kita dipanggil,” kata Awang. Dia mulai khawatir terhadap anaknya yang kelaparan, apalagi waktu itu beduk di masjid sebelah sudah dibunyikan sebagai pertanda menjelang Shalat Ashar. Amarah terpendam sudah menguasai Awang, karena tetangganya tak kunjung datang mengundang ke kenduri yang digelar, sebagaimana biasa adat di kampung itu.
Tetapi Awang hendak menyalahkan siapa? Dia tidak tahu, sebenarnya siapa yang menyelenggarakan kenduri dan memotong ayam? Sebab dari pertanda bulu ayam yang berserak di aliran paritnya, tentulah tetangga yang menyelenggarakan kenduri memotong ayam beberapa ekor untuk menjamu para tetangga. Entah itu kenduri atas keberhasilan anak tetangga dalam menempuh pendidikan, atau syukuran atas rezeki yang diperoleh pada pekerjaan, ataupun kenduri atas kelahiran anak. Awang belum mendengar kabar tetangga yang menyelenggarakan syukuran, tetapi yang jelas, dengan adanya pertanda bulu ayam ditebar di aliran parit rumahnya, pastilah tetangga menyelenggarakan kenduri dengan memotong ayam.
Singkat cerita, hingga pada senja menjelang malam, Awang dan istrinya Nayla sepakat untuk memasak makanan, paling tidak untuk anak mereka yang telah lemas akibat kelaparan. Sambil istrinya Nayla menyalakan api di tungku, Awang pun memberanikan diri keluar ke tetangganya untuk bertanya, kenapa pertanda kenduri, yakni bulu ayam ditebar di parit, tetapi undangan makan tidak kunjung datang. Pria itu membawa obor karena hari telah mulai gelap, dan melangkah ke rumah tetangga yang tidak jauh dari rumahnya.
Setiba di rumah tetangga, Awang bertanya pada Hamzah tetangganya. ”Pak Hamzah, saya mau bertanya: Bukankah ada kenduri di kampung ini, yang ditandai dengan adanya bulu ayam betebaran di parit desa? Kenapa sampai malam begini belum ada yang datang mengundang? Siapa gerangan tetangga kita yang menyelenggarakan kenduri, apakah Bapak, atau siapa?” tanya Awang pada Hamzah tetangganya. Sontak Hamzah menjawab dengan suara yang tidak kalah lantang.
”Aku juga sama istri dan anak sedang menunggu undangan kenduri, karena bulu ayam yang banyak di aliran parit. Sampai-sampai kami tidak makan sepanjang hari menunggu undangan ke kenduri. Siapa sebenarnya yang melaksanakan kenduri dengan menebar bulu ayam, tetapi nggak berkehendak mengajak tetangga?” seru Hamzah tidak kalah sengit. Dia juga bersama anak dan istrinya, ternyata setali dua uang degan Awang. Sama-sama menunggu undangan kenduri, sehingga menahan lapar dan sengaja tidak memasak untuk menunggu datangnya undangan tetangga.
Awang dan Hamzah sepakat untuk mencari tahu kenapa tetangganya yang kenduri tidak mengundang mereka, sementara pertanda kenduri di kampung, seperti biasanya, mengapungkan bulu ayam di parit desa, terjadi pada pagi menjelang siang hari. Keduanya membawa obor sebagai alat penerang, dan mereka bergerak menuju tetangganya yang lain. Mereka menuju rumah yang berada agak lebih tinggi dari lokasi rumah mereka, sebab bulu ayam yang bertebar kelihatannya bersumber dari rumah di atas di kampung itu.
Pada akhirnya, bukan dua atau tiga keluarga saja yang penasaran, dan kelaparan sengaja tidak makan siang, karena menunggu undangan kenduri. Puluhan keluarga ternyata sama-sama menunggu undangan kenduri dari tetangga yang memotong ayam, yang tentu saja, seperti biasanya, dalam rangka kenduri. Obor yang menyala di malam hari itu semakin ramai. Warga se-desa itu pun menjadi gempar dan gaduh. Semua keluarga ternyata menantikan undangan kenduri setelah menyaksikan ada bulu ayam di aliran parit desa. Tanpa dikomando, ternyata penduduk sekampung sama-sama tidak masak siang, dan membiarkan diri lapar untuk bersiap menerima undangan makan dari penyelenggara kenduri.
Setelah semua keluarga telah diperiksa dan ternyata tidak ada yang menyelenggarakan kenduri, maka mereka semua penasaran terhadap pertanda bulu ayam di aliran parit. Siapa yang menebar bulu ayam? Mereka akhirnya mencari sumber bulu ayam yang betebaran di aliran parit desa dengan ramai-ramai menyusuri hilir parit desa itu. Menjelang waktunya Isha, mereka pun terkejut melihat kenyataan.
Ternyata di daerah perbukitan desa itu, telah berserak bangkai ayam. Kelihatannya beberapa ekor ayam telah menjadi korban biawak yang kelaparan. ”Pantas saja banyak bulu, karena ternyata ada beberapa ekor ayam yang jadi korban biawak. Ini pasti ulah biawak yang sering memangsa ayam. Tetapi kita semua kok tidak terpikir untuk mencari tahu dari mana bulu ayam yang betebaran ini ya?” kata Umar, seorang pria yang getol memimpin pencarian fakta bulu ayam yang betebaran di desa malam itu.
Semuanya kecewa, namun kekecewaan itu hendak dilampiaskan ke siapa? Sebab, biawak lah penyebabnya timbul penderitaan warga, tidak memasak dan tidak makan siang, karena berharap akan datang undangan kenduri. Mereka hanya menyaksikan bulu ayam, sementara daging ayam dinikmati biawak yang buas. Sekiranya mereka segera sadar, mungkin saja daging ayam masih dapat diselamatkan dari mulut dan kaki rakus biawak.
Kisah di atas menggambarkan kondisi kemasyarakatan di Pulau Batam. Warga masyarakat yang bermukim di Pulau Batam menahan diri untuk tidak ‘makan siang.’ Berharap akan ada undangan kenduri, yakni investasi yang bertumbuh, lapangan kerja yang terbuka, dan kebutuhan dasar yang memadai. Tetapi apa mau dikata; jangankan kebutuhan dasar yang memadai, air bersih saja tidak mengalir, lapangan kerja tidak ada, investasi menurun drastis, dan sulit mendapatkan mata pencaharian untuk menutupi kebutuhan sehari-hari.
Tidak seperti pada era kepemimpinan di Badan Pengusahaan (BP) Batam sebelum sekarang, di mana lapangan kerja terbuka, investasi meningkat, dan tidak sulit mencari pekerjaan dan penghidupan bagi warga yang tinggal. Padahal, anggaran yang dikucurkan ke Pulau Batam sangat besar, selain Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Batam, ada pula kucuran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari air, sewa tanah, pengelolaan pelabuhan laut dan udara, serta dana alokasi lainnya.
Bukannya warga masyarakat di Pulau Batam dapat undangan makan daging ayam dalam kenduri, tetapi malah biawak yang bercokol di BP Batam yang mencabik-cabik ‘daging ayam’ yang seharusnya dinikmati rakyat. Lihat saja banyaknya keluhan pengusaha dan warga yang sering menjadi korban kebijakan yang merugikan warga, digusur dan lahannya dicabut. Sama seperti pengalaman pengusaha lokal yang berkeluh dan bertungkus lumus membesarkan usahanya, seperti Hotel Pura Jaya. Sekarang, daging ayamnya telah ditelan habis oleh biawak yang bercokol di BP Batam.
Warga masyarakat luas hanya tinggal menyaksikan ‘bulu ayam’ berserakan di aliran parit desanya. Mengharap undangan kenduri yang tidak kunjung datang, karena ‘daging ayam’ yang disediakan negara, telah dilahap habis oleh monster-nya ‘biawak.’ Biawak yang bercokol dan mengisap semua sari pati ekonomi rakyat kecil. Biawak yang kini sedang memimpin badan layanan umum yang bernama BP Batam.
Cerita Rakyat, diangkat Redaksi Nusa Viral