Analisa Hukum: Inisiator Perobohan Hotel Purajaya Adalah PT Pasifik Estatindo Perkasa

Pasifik Group merupakan pelaku utama perobohan Hotel Purajaya yang dinilai tidak menghargai simbol-simbol perjuangan Melayu di Kepri.

Batam, 31 Oktober 2025.

PEMBERI perintah atau inisiator perobohan Hotel Purajaya adalah PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP). Kemungkinan besar pencetusnya adalah Asri alias Akim sebagai pemilik saham terbesar, atau putra mahkotanya Bobbie Jayanto yang kemudian diformalkan oleh Direktur Utama PT PEP, Jenni.

Jika pidana perobohan terbukti, maka Jenni akan menanggung akibat pidana terbesar. PT PEP menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK) nomor PEP-002/VI.2023 yang ditandatangani Direktur PEP, Jenni, untuk melaksanakan pembongkaran Hotel Purajaya. Kemudian eksekutor, yakni PT Lamro Martua Sejati (LMS) merupakan pihak kedua yang akan menanggung dampak pidana dalam perobohan hotel itu.

Di dalam gugatan perdata, disebut PT PEP disebut sebagai ‘tergugat I’ dalam gugatan perdata yang diajukan oleh pemilik hotel, PT Dani Tasha Lestari (DTL), menuntut ganti rugi sebesar ± Rp 922 miliar atas kerugian akibat pembongkaran. Lahan hotel (± 30 hektar) yang menjadi lokasi pembongkaran juga disebut telah dialihkan atau dikuasai oleh PEP setelah pencabutan alokasi lahan kepemilikan DTL. Tidak tertutup kemungkinan dalam mendapatkan alokasi tanah Hotel Purajaya, PT PEP melakukan tindak pidana penyuapan dan/atau gratifikasi.

Eksekusi perobohan Hotel Purajaya pada 21 Juni 2023. Sampai saat ini lahan dan area hotel tidak dibangun oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa. Kelihatannya lahan itu dikuasai sebgai spekulan tanah alias mafia tanah.

Perdata Ganti Rugi

DTL menuntut agar PEP menunaikan ganti rugi atas “perobohan hotel dan fasilitasnya” senilai sekitar Rp 922 miliar. Dari sudut hukum perdata, apabila terbukti PEP melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) misalnya merobohkan bangunan tanpa dasar hukum yang valid, maka PT PEP bertanggung jawab atas kerugian tersebut.

Dari sisi tanggung jawab administratif/hukum terkait alih lahan/bangunan, pembongkaran dilakukan tanpa putusan pengadilan yang sah sebagai dasar eksekusi, yang dilakukan PT PEP dan didukung oleh oknum pimpinan tertinggi BP Batam ketika itu Muhammad Rudi. Hal itu dibuktikan dengan diturunkannya sekitar 500 personil Tim Terpadu yang melekat pada jabatan Kepala BP Batam.

Karena itu, PEP diduga melakukan tindakan yang kuat, bermasalah secara hukum (baik administratif, perdata, maupun pidana) terkait penguasaan lahan dan perobohan bangunan yang mempunyai nilai sejarah. Kewajiban moral dan sosial terhadap masyarakat lokal karena hotel tersebut memiliki nilai sejarah dan merupakan bagian dari pembangunan di wilayah Melayu/Batam, maka pembongkarannya menimbulkan dampak sosial kepada masyarakat setempat, yang menuntut pertanggungjawaban bukan hanya dari PEP, tapi juga aparat terkait.

Rury Afriansyah (kanan) memohon agar eksekusi perobohan Hotel Purajaya ditunda menunggu keputusan pengadilan, Namun Tim Terpadu yang dipimpin Imam Tohari (kiri), bersikeras melindungi eksekutor perobohan.

Isu dan konteks yang memperberat tanggung jawab inisiator pembongkaran hotel, dilakukan saat proses hukum masih berjalan, dan tanpa dasar putusan pengadilan sebagai instansi yang berhak mengeksekusi resmi. Hal ini menimbulkan pertanyaan legalitas tindakan tersebut kenapa bisa terjadi. Tentu jawabannya, karena pimpinan tertinggi di BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, adalah orang yang sama, yakni ketika itu Muhammad Rudi.

Terdapat dugaan hubungan dekat antara pihak PEP (direktur/komisaris) dengan partai politik setempat, sehingga menimbulkan dugaan pengaruh kekuasaan dalam pelaksanaan tindakan tersebut. Lahan dan bangunan yang dirobohkan disebut sebagai aset milik DTL dengan IMB, dan hak sewa tanah telah dibayar; sehingga pembongkaran dianggap sebagai penghilangan aset yang sah.

Komisaris Utama PT Pasifik Estatindo Perkasa, Bobie Jayanto. Diduga salah satu pihak yang bertanggungjawab dalam perobohan Hotel Purajaya, Juni 2023.

Ringkasan kewajiban PEP

Berdasarkan data di atas, maka tanggung jawab PEP meliputi:
Menjawab secara perdata atas tuntutan ganti rugi dari DTL (± Rp 922 miliar).
Menjawab secara hukum administratif/pidana atas tindakan pembongkaran tanpa dasar hukum yang sah (apabila terbukti).
Menjamin hak ­kepemilikan dan penguasaan lahan/bangunan secara sah, atau mengembalikan kondisi yang adil atas dampak sosial terhadap masyarakat lokal.

BP Batam menyampaikan bahwa alokasi lahan seluas 20 hektar milik PT Dani Tasha Lestari (DTL) sudah dibatalkan karena tidak dimanfaatkan, dan bahwa proses gugatan DTL telah kalah hingga tingkat kasasi/PK. Tetapi fakta di lapangan, akses jalan ke area hotel (10 hektar) adalah melalui area 20 hektar. Pembangkit listrik alternatif (power house) ada di area 20 hektar. Mes karyawan dan berbagai fasilitas hotel berbintang ada di area 20 hektar. Sehingga dapat disebut, alasan 20 hektar tidak dibangun adalah alasan tidak berdasar.

Ketua Tim Terpadu, Imam Tohari yang memimpin pengamanan saat perobohan hotel.

BP Batam tidak secara eksplisit menyebutkan PEP sebagai pihak yang memiliki lahan secara final atau perintah eksplicitnya untuk merobohkan hotel. Putusan banding di tingkat pengadilan, yakni Pengadilan Tinggi Kepulauan Riau (PT Kepri) Nomor 63/PDT/2024/PT TPG: Dalam direktori putusan resmi terlihat: ’63/PDT/2024/PT TPG’ dengan Pembanding/Penggugat: PT DTL; Terbanding/Tergugat I: PEP; Terbanding/Tergugat II: PT Lamro Martua Sejati; Turut Tergugat: BP Batam.

Hal itu secara formal menunjukkan bahwa PEP diposisikan sebagai tergugat dalam suatu perkara perdata (perbuatan melawan hukum) yang sudah masuk ke tingkat banding. Gugatan perdata oleh PT DTL terhadap PEP terkait perobohan hotel senilai Rp 922 miliar. Diajukan di Pengadilan Negeri Batam dengan nomor perkara sekitar 29/Pdt.G/2025/PN Batam. Tergugat I: PEP; Tergugat II: PT Lamro Martua Sejati; serta turut tergugat BP Batam.

Gugatan ini menegaskan bahwa PT DTL menuntut PEP atas dasar ‘penghancuran/merobohkan bangunan dan fasilitas’ yang menjadi milik PT DTL tanpa dasar hukum yang sah.

Berdasarkan dokumen yang tersedia dan sudah dipublikasi, PEP legal diikutsertakan sebagai tergugat dalam perkara perdata penting mengenai perobohan hotel tersebut. Meski BP Batam menyatakan proses pembatalan alokasi lahan sudah sah, namun fakta hukum yang ada tidak mendukung pernyataan tersebut.

Yang jelas, belum ditemukan publikasi yang jelas bahwa PEP memiliki hak alih legal penuh, atau bahwa ia bertindak sebagai pemilik resmi atau eksekutor yang memperoleh putusan pengadilan untuk perobohan. Karena itu, posisi legal PEP masih dalam sengketa dan belum tuntas secara publik terdokumentasi sebagai ‘eksekutor yang sah’ atau ‘pemilik lahan’ secara final. (*)

Redaksi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *