Redaksi.
Batam, 11 Oktober 2025.
Melihat kasus pencabutan alokasi lahan milik PT Dani Tasha Lestari (DTL) yang dilakukan pada 2019 dan 2020, tanpa memberi kesempatan kepada perusahaan memperpanjang masa penyewaan, meski telah berdiri hotel mewah yang telah memberi devisa negara, merupakan sebuah penistaan terhadap Melayu. Bukan saja penistaan dan tragedi investasi, melainkan langkah menghancurkan tatanan adat, khususnya adat Melayu.
Berikut analisis hukum adat secara spesifik terhadap kasus perobohan Hotel Purajaya di Batam, yang difokuskan dengan:
(1) kedudukan hukum adatnya,
(2) hubungan dengan hukum positif, dan
(3) peluang perlindungan hak menurut hukum adat dan nasional.

Fakta Pokok Kasus (Ringkas)
Mengenai fasilitas Hotel Purajaya & Lahan: Hotel Purajaya terletak di kawasan Nongsa, sebuah kawasan strategis dalam dunia pariwisata Batam. Hotel yang berdiri sejak tahun 1990-an, berdasarkan data dan fakta dokumen, lahan itu merupakan tanah negara yang dikelola oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai penguasa kawasan perdagangan bebas.
BP Batam memberikan hak pengelolaan (HPL) dan hak sewa kepada pihak tertentu. Dalam kurun waktu 15 hari sejak diajukan oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa, Surat Keputusan (SKEP) alokasi lahan langsung keluar. Padahal, menurut Peraturan Kepala BP Batam yang berlaku saat itu, seharusnya proses pengalokasian lahan minimal 45 hari, karena membutuhkan waktu proses administrasi dan tanggapan publik.
Pencabutan yang dinilai tidak adil, adalah BP Batam tidak pernah memberi tahu PT DTL bahwa lahan yang ditempati telah diserahkan kepada perusahaan lain. Bahkan Salinan SKEP Pengalokasian Lahan tidak bisa diberikan kepada perusahaan yang memiliki aset ratusan miliar di atas tanah. Maka tidak heran jika muncul sengketa hukum dan fisik lapangan antara PT DTL dan PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) terkait perjanjian sewa dan kepemilikan bangunan.
Perobohan Hotel 21 Juni 2023
Perobohan dilakukan oleh PT PEP melalui pihak ketiga tanpa putusan pengadilan (tanpa penetapan eksekusi) tidak sesuai dengan prinsip hukum horizontal, yakni tanah dan bangunan dua objek yang harus diperlakukan berbeda. Tanah bisa saja dimiliki satu pihak, dan bangunan serta fasilitas di atasnya dimiliki pihak lain.
Benarlah, jika pihak DTL didukung oleh tokoh adat Melayu, menilai tindakan itu melanggar hukum dan adat Melayu. Karena dilakukan terhadap bangunan yang memiliki nilai historis, simbol kebudayaan Melayu, dan dilakukan secara paksa tanpa ”musyawarah adat.”

Keterlibatan Unsur Adat Melayu
Kesultanan Riau-Lingga dan lembaga adat Melayu Kepulauan Riau (LAM Kepri) menyatakan dukungan terhadap pemilik hotel dan mengecam perobohan karena dianggap “tidak menghormati marwah adat Melayu”.
Mereka menilai tindakan tersebut bukan sekadar pelanggaran hukum perdata, tetapi juga “penghinaan terhadap kearifan lokal dan simbol sejarah Melayu di Batam”.
Analisis Hukum Adat
1. Status Masyarakat Hukum Adat Melayu di Batam
Batam, sebagai bagian dari Kepulauan Riau, secara historis merupakan wilayah Kesultanan Riau-Lingga, dengan sistem adat Melayu yang masih hidup. Lembaga Adat Melayu (LAM Kepri) diakui oleh pemerintah daerah sebagai representasi masyarakat hukum adat Melayu.
Namun, pengakuan formal terhadap tanah ulayat Melayu di Batam belum ada secara administratif. Tidak terdapat Peraturan Daerah atau SK Walikota yang menetapkan wilayah adat Melayu tertentu di Batam.
Akibatnya, hak ulayat secara hukum positif belum dapat dijadikan dasar yuridis atas tanah Hotel Purajaya. Di Kepri dan Kota Batam sebagian dari Kepri, Adat Istiadat masih dijunjung tinggi. Tidak dapat dihindarkan, bahwa dari sisi adat, juga secara sosiologis dan kultural, pencabutan dan pengalokasian kepada pengusaha lain tidak dapat dibenarkan. Meski belum memiliki legitimasi administratif atas tanah adat di wilayah Batam.

2. Prinsip Hukum Adat Melayu yang Relevan
Dilihat dalam table di atas, dalam konteks hukum adat Melayu, terdapat beberapa prinsip penting yang dilanggar dalam perobohan Purajaya. Dalam logika hukum adat Melayu, tindakan perobohan tanpa musyawarah adat dianggap tidak sah dan melanggar norma adat (melanggar “undang-undang dalam adat”).
3. Hukum Adat dan Hukum Nasional
Berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: negara wajib menghormati hak masyarakat adat. Juga Pasal 3 UUPA 1960: pelaksanaan hak ulayat harus sesuai dengan kepentingan nasional dan peraturan perundangan. Serta Permen ATR/BPN No. 18/2019: pengakuan tanah ulayat harus melalui inventarisasi dan penetapan daerah. Pencabutan alokasi dari PT DTL ke PT PEP menghasilkan konflik adat dan sosial.
Alasannya, karena belum ada penetapan formal tentang hak ulayat di Batam, maka pengakuan adat Melayu dalam kasus Purajaya masih bersifat moral dan sosial. Meski secara legal formal tidak ditemukan dasar orisinalitas, namun penghormatan terhadap nilai adat tetap mengikat secara konstitusional. Sehingga Pemerintah Kota Batam dan BP Batam seharusnya melibatkan lembaga adat sebelum mengambil tindakan terhadap simbol budaya Melayu.

4. Pelanggaran terhadap Prinsip Penghormatan Adat
Dari kacamata hukum adat dan konstitusional: Tindakan merobohkan bangunan tanpa keputusan pengadilan dan tanpa pelibatan lembaga adat melanggar asas “penghormatan terhadap hak tradisional” (Pasal 18B UUD 1945).
Bila terbukti hotel tersebut memiliki nilai historis atau budaya Melayu, maka tindakan tersebut dapat dinilai melanggar prinsip perlindungan warisan budaya non-bendawi sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Dengan demikian, perobohan Purajaya dapat dinilai melanggar prinsip hukum adat, hukum agraria, dan hukum cagar budaya sekaligus.
Kesimpulan Analitis
Secara adat, perobohan Hotel Purajaya melanggar prinsip adat Melayu: dilakukan tanpa musyawarah, tanpa penghormatan terhadap nilai budaya dan sejarah. Secara konstitusional, negara (melalui BP Batam) seharusnya menghormati hak tradisional masyarakat adat (Pasal 18B UUD 1945).
Secara hukum positif, karena belum ada pengakuan formal terhadap tanah ulayat di Batam, maka hak adat belum memiliki kekuatan yuridis atas tanah. Namun, nilai hukum adat tetap dapat dijadikan dasar moral, sosiologis, dan konstitusional dalam gugatan perdata (PMH), khususnya untuk memperkuat argumen bahwa tindakan perobohan bertentangan dengan keadilan sosial dan budaya Melayu.
Makanya seruan Ketua Saudagar Rumpun Melayu untuk BOIKOT SEMENTARA PERGERAKAN SEMUA BISNIS PASIFIC GROUP, layak untuk dilsaksanakan. (*)
Redaksi.

