Redaksi
Hukum adat Melayu adalah sistem norma dan aturan tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat Melayu secara turun-temurun. Hukum ini bersumber dari kebiasaan, nilai-nilai budaya, dan ajaran Islam yang telah diadaptasi, serta diakui secara konstitusional di Indonesia. Norma yang mendasari kehidupan bangsa Melayu tidak dapat diabaikan dari semua aspek kehdupan.
Ciri khas dan sumber hukum adat Melayu tidak hanya mengatur aspek-aspek sosial, tetapi juga spiritual. Berbagai wilayah Melayu memiliki hukum adatnya masing-masing, namun umumnya didasarkan pada ajaran Islam. Begitu juga di Kepulauan Riau dan khususnya Pulau Batam. Meski pulau Batam, Rempang, dan Galang telah diserahkan ke Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk dikelola, tetapi pengelolaan tersebut tidak dapat mengabaikan eksistensi hukum adat, khususnya adat Melayu.
Dalam kasus Hotel Purajaya, kita ketahui beberapa aspek penting dalam kasus Purajaya. (1) Hotel Purajaya (pemiliknya PT Dani Tasha Lestari/DTL) dirobohkan pada 21 Juni 2023 oleh pihak PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) melalui pelaksanaan oleh PT Lamro Martua Sejati (LMS). (2) Objek sengketa, yaitu tanah/hak guna lahan dan bangunan yang masih dalam proses hukum (belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap). (3) Pemilik (PT DTL) telah membuktian perobohan dilakukan tanpa persetujuan, tanpa pelaksanaan melalui eksekusi pengadilan, dan dalam keadaan sedang proses gugatan.
Di sisi lain, ada klaim masyarakat adat Melayu bahwa Hotel Purajaya mempunyai nilai historis dan budaya, bahwa ia menjadi bagian dari identitas lokal. Hukum Adat dalam konteks Indonesia, yakni Hak Ulayat dan Pengakuan Masyarakat Adat masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat, serta diakui oleh pranata sosial dan hukum negara. Untuk memahami ‘hukum adat’ dalam kasus Purajaya dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pengakuan Konstitusional
UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) menyebut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.” UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, khususnya Pasal 3, menyebut bahwa hukum agraria nasional bersumber dari hukum adat.
Setra dengan undang-undang, UUD 1945 tetap mengakui hukum adat dan Hak Ulayat dalam mengelola tanah. Hak ulayat adalah hak adat kolektif atas tanah/wilayah yang dalam hukum adat dimiliki dan dikelola oleh masyarakat hukum adat. Siapa itu masyarakat adat? Itulah masyarakat yang dalam kesehariannya masih mengakui komunitasnya sebagai masyarakat hukum adat, dan (harus) dilaksanakan dan benar-benar hidup secara adat, dalam batas wilayah adat tertentu, serta ada pranata atau struktur adat yang diakui.
Belum semua masyarakat adat mempunyai pengakuan formal dari pemerintah daerah (keputusan bupati/walikota) untuk menjadi subjek masyarakat hukum adat secara legal dengan hak ulayat yang diakui secara administratif/tanah komunal. Tetapi, bukan berarti wilayah atau daerah di mana pemerintahannya belum mengakui keberadaan masyarakat adat dengan spontan berarti tidak ada masyarakat adat. Sebab diakui oleh hukum positif atau tidak, masyarakat adat itu ada.

Peraturan Turunan & Pelaksanaan
Ada Peraturan Menteri ATR/BPN No. 18 Tahun 2019 tentang tata cara penatausahaan tanah ulayat masyarakat hukum adat, yang mengatur bagaimana tanah ulayat dapat diinventarisasi, diidentifikasi, dan dikelola. Permen ATR/BPN itu merupakan sebuah pengakuan yang harus dimediasi oleh peraturan daerah agar mengikat secara positif dengan masyarakat adat di setiap daerah. Sayangnya, tidak atau belum semua daerah melakukannya.
Masih banyak tantangan implementasi dari hukum dan masyarakat adat. Ada batas‐batas wilayah adat belum jelas, pendaftaran ulayat belum menyeluruh, sering terjadi tumpang tindih antara kepentingan adat, izin usaha, dan regulasi negara. Dalam keadaan regulasi yang masih carut marut, BP Batam kemudian muncul sebagai lembaga Super Body dalam kewenangannya, khususnya mengenai tanah atau lahan.

Hubungan Antara Hukum Adat dan Kasus Purajaya
Berdasarkan fakta‐kasus dan ketentuan di atas, beberapa isu hukum adat yang muncul: Pertama. Nilai budaya dan identitas adat. Pemilik dan masyarakat adat Melayu menyatakan hotel tersebut bukan sembarang bangunan tetapi bagian dari warisan budaya/adat, ciri khas Melayu, saksi sejarah. Nilai ini menjadi argumen penting dalam klaim bahwa perobohan juga merusak aspek adat dan kultural.
Hak ulayat atau klaim adat atas tanah memiliki dasar yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Bila masyarakat adat atau pemilik mengklaim bahwa tanah hotel adalah bagian dari tanah adat atau wilayah adat, maka ada argumen bahwa hak adat (termasuk hak ulayat) perlu dihormati. Apabila pengakuan masyarakat hukum adat terhadap wilayah atau tanah tersebut sudah dilakukan atau dapat dibuktikan secara adat, itu mendukung klaim hukum adat.
Ketentuan hukum nasional yang mewajibkan penghormatan terhadap hak tradisionalnya: Seperti ditunjukkan Pasal 18B UUD 1945 dan UUPA. Bila masyarakat hukum adat atau pemilik belum diakui secara administratif namun adatnya masih hidup, maka tindakan negara atau badan publik yang merusak atau mengambil tanpa proses yang sah bisa dianggap melanggar prinsip penghormatan terhadap adat.
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam hukum perdata: Klaim bahwa perobohan dilakukan tanpa putusan pengadilan, sehingga BP Batam atau pihak lain yang mengeksekusi dianggap tidak memiliki dasar hukum formal yang kuat. Hal ini terkait hukum positif (negara) tetapi juga berpotensi melibatkan unsur penghinaan terhadap adat/kearifan lokal.

Apakah ‘Hukum Adat’ Bisa Menghalangi Perobohan?
Dalam konteks seperti Purajaya, jika hak adat/hak ulayat sudah diakui secara formal (misalnya melalui keputusan daerah, batas wilayah adat yang diinventarisasi, dan ada pengakuan masyarakat hukum adat serta pranata adat yang berjalan), maka tindakan merobohkan tanpa prosedur hukum yang sah bisa dianggap melanggar hak adat itu. Namun jika belum ada, dan memang di Batam atau Kepri, belum ada Perda tentang Hak Ulayat.
Jika pengakuan belum ada, meskipun masyarakat adat mengklaim bahwa mereka memiliki hak tradisional atas lahan/tema hotel, tanpa pengakuan resmi atau bukti kuat, hak tersebut sulit ditegakkan di pengadilan (sebagai hak yang memiliki kepastian hukum). Proses pembuktian, identifikasi wilayah adat, pendaftaran ulayat menjadi penting.
Prosedur hukum positif tetap wajib dijalankan, misalnya putusan pengadilan, prosedur administratif, pengajuan klaim, jika penghapusan hak kenegaraan atau pembatalan perjanjian pengelolaan, semuanya harus sesuai regulasi. Tetapi jangan lupa, Hukum Adat menjadi landasan moral dan konstitusional, meski tetap legalitas formal dan administratif tetap harus dipenuhi.
Sesungguhnya, dalam kasus Purajaya, landasan hukum adat telah diabaikan, begitu juga hukum positif yang mengakomodir kepemilikan horizontal atas tanah, tetap harus dihargai, Jika hak atas tanah telah diserahkan ke pihak lain, dalam hal ini PT Pasifik Estatindo Perkasa, pengalihan itu masih dapat diuji apakah telah sesuai dengan aturan Perka, Peraturan Pemerintah, atau UU. Selain hal itu, kepemilikan terhadap bangunan dan fasilitas di atasnya adalah merupakan hak mutlak dari PT DTL sebagai pemilik hotel.
Alasan itulah yang membuat pengalihan lahan hotel dan perobohan hotel Purajaya tetap, sampai kapanpun, merupakan sebuah luka hukum yang tidak akan pernah sembuh. Kecuali diterapi dengan pendekatan hukum adat dan keterbukaan dari BP Batam untuk mengakui kesalahan. Sedikit banyaknya, kasus perobohan Purajaya menurunkan kepercayaan investor dari dalam maupun luar negeri.
Kesimpulan
Hukum adat, khususnya hak ulayat dan pengakuan masyarakat adat, adalah bagian dari kerangka hukum nasional dan memiliki dasar konstitusional dan undang-undang.
Dalam kasus Purajaya, ada klaim bahwa nilai budaya dan identitas adat telah dilanggar, dan prosedur pelaksanaan (perobohan) dilakukan tanpa proses pengadilan yang sah, yang menurut hukum positif bisa melanggar prinsip legalitas dan keadilan.
Untuk memperkuat klaim berdasarkan hukum adat, dibutuhkan bukti tentang pengakuan masyarakat hukum adat, batas wilayah adat, struktur adat, dan bukti bahwa hak adat tersebut masih hidup. Bukti itu akan diperkuat oleh lembaga Lembaga formal dan informal, bahwa Batam merupakan bagian dari Kepri, yang masih dihuni oleh masyarakat adat yang tetap tunduk dan mengakui hukum adat.
Ada ragam adat yang kini masih hidup di tengah masyarakat: Adat yang sebenar adat: Aturan dasar yang tidak dapat diubah. Adat yang diadatkan: Aturan yang disepakati oleh pemangku adat. Adat yang teradat: Aturan yang terbentuk dari kebiasaan sehari-hari. (*)
Redaksi.

