Menakar Relevansi Pembangunan Jembatan Batam-Bintan dan Amanah Deklarasi Kepri 15 Mei 1999

Gambar imaginasi Jembatan Batam-Bintan. (Kementerian PUPRI RI)

Oleh: Ir. M. Nazar Machmud

Jakarta, 21 Juli 2025

Secara garis besar saya coba uraikan apa sesungguhnya latar belakang dan mengapa jembatan Batam-Bintan terkesan wajib diwujudkan.

Semua berawal mulai tahun 1973 ketika ‘Mafia Barkeley’ menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia di era Orde Baru.

Pola pikir ‘Mafia Barkeley’ berorientasi pada pertumbuhan ekonomi melalui liberalisasi ekonomi, swastanisasi, investasi asing, industrialisasi, dan pasar bebas.

Industri menjadi mesin pertumbuhan ekonomi. Diharapkan secara nasional dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan nasional. Indikator pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan PDB.

Dampak buruk pola pikir ‘Mafia Barkeley’ adalah fokusnya hanya pada skala nasional. Akibatnya timbul kesenjangan antara pendapatan pusat dan daerah selain kesenjangan sosial yang semakin melebar antara yang kaya (the have) dan yang miskin (the have not). Khususnya persaingan berat yang harus dihadapi pencari kerja tempatan yang harus bersaing dengan pencari kerja pendatang yang lebih memenuhi persayaratan industri.

Ir. Nazar Machmud.

Dampak buruk lainnya dari pendekatan liberalisasi ekonomi tersebut adalah ketergantungan pembangunan ekonomi pada bantuan asing dan pinjaman luar negeri untuk membiayai pembangunan.

Dampak terburuknya diungkapkan oleh John Perkins bahwa Indonesia dijebak dalam jeratan hutang yang mustahil terbayarkan.

Miskinnya pola pikir tentang mengapa Kepri harus jadi provinsi serta terbiasa bekerja dalam pola pikir yang terpusat, sistem pemerintahan sentralisasi, menyebabkan mayoritas birokrat Kepri merasa wajib mewujudkan pembangunan jembatan Batam-Bintan.

Selain itu, sampai tahun 1994 pola pikir Kontinental masih sangat dominan mewarnai kebijakan pembangunan termasuk Provinsi Riau yang ibukotanya di Pekanbaru. Memakai pola pikir kontinental muncullah rencana membangun jaringan rel kereta api di Daratan Riau dan jembatan Batam-Bintan di Kepulauan Riau.

Mengubah pola pikir Kontinental ke pola pikir Maritim bukanlah perkara mudah baik menghadapi hambatan di dalam negeri mau pun luar negeri.

Visi Maritim untuk Negara Kepulauan berawal dari Deklarasi Djuanda tahun 1957.
Lalu berlanjut memperjuangkan pengakuan dunia selama periode 1973 – 1982, sampai lahirlah UNCLOS 1982. Perlu waktu 12 tahun lagi sebelum UNCLOS berhasil diratifikasi oleh 60 negara pada tanggal 16 November 1994.

Perjuangan panjang pengakuan Hukum Laut Indonesia itulah menjadi alasan utama kami memperjuangkan pembentukan Provinsi Kepri. Menggunakan cara pandang Kontinental maka wilayah pesisir dan kepulauan dipandang sebagai halaman belakang rumah Provinsi Riau. Faktor pendorong lainnya adalah jarak yang jauh dari Pusat Pemerintahan di Pekanbaru serta rentang kendali pemerintahan yang terlalu lebar. Tak kalah penting adalah jumlah Anggota DPRD Provinsi Riau asal Kepulauan Riau hanya beberapa orang. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat memperjuangkan kepentingan pembangunan bagi Kepulauan Riau.

Kemungkinan besar jembatan ini walau bukan proyek PSN akan segera direalisasikan.
Sebagai proyek non PSN maka perawatan jembatan Batam-Bintan di masa depan tidak menjadi prioritas nasional.
Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Madu kabarnya sempat terhenti beroperasi pada Juli 2004 karena mengalami kerusakan. Dibuka kembali pada Juni 2009 karena kekurangan dana. Seandainya kabar itu benar, jembatan Suramadu patut jadi pelajaran berharga bagi efektivitas pemanfaatan APBD Kepri di masa depan yang masih miskin PAD. Lebih bermanfaat APBD untuk menambah pengadaan kapal roro antar pulau dan perawatannya pun jauh lebih murah. (*)

Ir. M. Nazar Machmud adalah Penasihat Badan Pembentukan Provinsi Kepri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *