April 30, 2025
huzrin hood

Ketua BP3KR, Huzrin Hood.

Batam, 28 Maret 2025.

Tokoh dan sekaligus Ketua Badan Pekerja Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (BP3KR) Huzrin Hood, menyatakan pernyataan yang menuding pemilik Hotel Purajaya membawa-bawa ketokohan Lembaga Adat Melayu (LAM), adalah pernyataan yang tidak tepat. Seharusnya, kata Hozrin Hood, Basyaruddin tidak baik melontarkan pernyataan yang merendahkan dukungan tokoh Melayu dalam kasus Purajaya.

”Hak dia kalau dia membawa-bawa nama Generasi Muda BP3KR. Tetapi sudah ada keputusan agar tidak ada organisasi lain di bawah BP3KR. Kalau ada organisasi yang membawa-bawa nama BP3KR, justru dia itu yang mandai-mandai. Dia itu ‘ngarang sendiri. Tidak ada Barisan Muda di bawah BP3KR. Sebagai Staf Khusus Gubernur Kepri, dia (Basyaruddin) harus memakai data,” kata Huzrin Hood, yang diterima media ini di Batam, 28/3/2025.

Dengan adanya fakta (tidak ada GM BP3KR yang direstui BP3KR), Huzrin Hood menyatakan seharusnya Tok Oom tidak justru melontarkan tudingan yang mengganggu kebersamaan tokoh Melayu dalam mendukung upaya pemilik Hotel Purajaya mempertahankan haknya. ”Kita semua sepakat (mendukung upaya menuntut hak pemilik Hotel Purajaya). Tidak ada organisasi di bawah BP3KR yang membuat pernyataan yang bertolak-belakang. Tidak lebih, tidak kurang. Jangan mandai-mandai,” tegas Huzrin Hood.

Jangan Menyebar Hoak

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Perkumpulan Gerak Garuda Nusantara (Gegana) meminta pihak yang tidak menguasai permasalahan kasus Hotel & Resort Purajaya, Nongsa, Batam, agar tidak menyebar hoak. Pasalnya substansi masalah Purajaya adalah penguasaan lahan oleh jaringan mafia tanah di Kepulauan Riau, yang tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang saja.

Pernyataan itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Perkumpulan Gegana, Emerson Tarihoran, menanggapi informasi yang disampaikan oleh Dato Basyaruddin Idris alias Tok Oom beberapa hari lalu. Dalam sebuah berita, Tok Oom menyebut dirinya sangat jengkelnya dalam kasus Purajaya karena dituding membawa-bawa nama tokoh dan lembaga Melayu dalam merebut bisnis sebagai sesuatu yang aneh bin ajaib.

”Setelah saye telusuri, ternyata ade penunggakan WTO selama 30 tahun dan diberi waktu 1 tahun untuk penyelesaiannya tapi tidak diselesaikan. Saye sebagai anak Melayu sangat miris dalam bisnis perebutan lahan dengan menjual name Melayu,” ujar Tok Oom yang mengaku sebagai Ketua GM BP3KR, pada Rabu (26/3/2025) melalui media KepriDays.co.id.

Perobohan Hotel & Resort Purajaya di Nongsa, Batam.

Dalam berita disebut awalnya, ada penguasaan lahan oleh perusahaan konsorsium PT Pasifik di Batam, ratusan hektar lahan dipindahkan dari investor ke PT yang berada di Nongsa, Batam Center dan Sagulung. Adapun pencabutan lahan itu dari perusahaan, seperti, PT Dani Tasha Lestari di Nongsa Batam dan PT Synergi Tharada yang mengelola Pelabuhan Ferry Internasional Batam Center.

Menanggapi hal itu, Sekjen Gegana menyayangkan pernyataan Tok Oom yang tidak memahami masalah, tetapi malah memberi pernyataan yang menuding pihak lain. Pernyataan membawa-bawa nama Melayu, merupakan pernyataan keras atas nama lembaga. Padahal, kata Emerson, dukungan tokoh Melayu sebagai dukungan moral yang bersumber dari keresahan tokoh Melayu, sebagai reaksi kemarahan yang pantas disampaikan tokoh Melayu atas kasus yang dialami oleh pemilik Hotel Purajaya.

”Kasus Purajaya kini menjadi endemi sosial yang men-down-grade pelaku usaha kalangan putra daerah, khususnya di Batam, dan pada umumnya di Kepulauan Riau. Fenomena banyaknya dukungan sosial dari tokoh Melayu merupakan sesuatu yang sepantasnya terjadi, karena pemilik Hotel Purajaya merupakan tokoh penting dalam perjuangan Melayu Riau Lingga dan masyarakat Kepri,” kata Sekretaris Jenderal Gegana, Emerson Tarihoran, kepada wartawan di Batam, 28/3/2025.

Masalah hukum yang dihadapi pemilik Hotel Purajaya, kata Emerson, adalah ‘perampasan tanah dan aset’ yang dibungkus dengan legalitas berupa Peraturan Kepala (Perka) yang mengabaikan tujuan pengembangan investasi di Batam. Menurutnya, Batam dikembangkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan, yang dulu disebut Otorita Batam, dengan tujuan untuk mendukung perkembangan industri, yakni industri komponen, industri perdagangan, industri pariwisata, dan alih kapal.

”Jika ada investor yang telah terbukti mendatangkan devisa negara, dan telah membangun hotel bertaraf internasional. Lalu dihancurkan hanya dengan alasan telat bayar UWT selama 11 bulan, itu namanya musuh investasi dengan menggunakan legalitas formal yang diciptakan sendiri oleh oknum pimpinan BP Batam yang ditengarai menjadi bagian dari mafia tanah di Batam. Ada pula orang yang berani mengeluarkan pernyataan Purajaya telat bayar UWT 30 tahun. Dapat data dari mana,” ujar Emerson.

Pernyataan Dato Basyaruddin Idris alias Tok Oom, yang keberatan dengan dukungan tokoh Melayu kepada Megat Rury Afriansyah, menurut Emerson, sebuah pernyataan yang melawan akal sehat. ”Seharusnya lah, tokoh adat Melayu marah dengan peristiwa kezaliman yang dialami pemilik Hotel Purajaya. Salah satu fungsi lembaga adat adalah membela hak-hak dasar anggotanya,” katanya.

Redaksi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *