
Dicky Asmara Nasution, SH, MH
Batam, 24 Maret 2025
PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik dan pengelola Hotel & Resort Purajaya, meminta PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) sebagai Tergugat 1 dan PT Lamro Martua Sejati (LMS) sebagai tergugat 2 menunaikan ganti rugi sebanyak Rp922 miliar atas perobohan gedung dan fasilitas Hotel Purajaya. Pembayaran itu menjadi syarat dasar yang diutarakan penggugat dalam upaya mediasi antara PT DTL dengan PT PEP dan PT LMS serta Badan Pengusahaan (BP) Batam sebagai turut tergugat.
”Kami (PT DTL sebagai penggugat bersama PT PEP sebagai Tergugat I dan PT LMS sebagai Tergugat II serta BP Batam sebagai Turut Tergugat) telah menjalani sidang mediasi oleh Hakim Mediasi di PN (Pengadilan Negeri) Batam. Kami siap melakukan perdamaian dengan syarat dasar adanya ganti rugi terhadap perobohan hotel dan fasilitasnya senilai Rp922 miliar,” kata Kuasa Hukum PT DTL, Dicky Asmara Nasution, SH, MH, kepada wartawan di Batam, Senin, 24/3/2025.
Sidang mediasi, menurut Dicky Nasution, telah diupayakan oleh Hakim Mediator yang disediakan oleh PN Batam. Hari ini, Senin, 24/3/2025, telah dilaksanakan di PN Batam yang dipimpin oleh Dina Puspasari, SH, MH di ruang mediasi. Sidang mediasi Senin, merupakan sidang mediasi kedua setelah gugatan Perdata dilayangkan oleh PT DTL, dengan nomor registrasi perkara 29/PDT.G/2025/PN/BTM. Perkara itu didaftarkan oleh PT DTL pada awal 2025, sebagai tindak lanjut upaya hukum menuntut ganti rugi atas aktivitas perobohan.

”Langkah mediasi biasa dilakukan sebelum pihak-pihak yang bersengketa menggelar perkara di hadapan hakim Pengadilan Negeri (Batam). ”Sebagaimana diketahui, publik pun menjadi saksi adanya tindakan melawan hukum yang juga masuk ke ranah pidana dan perdata. Secara keperdataan kami menuntut pelaku perobohan untuk mengganti kerugian hotel dan fasilitasnya sebesar Rp922 miliar. Sebenarnya angka Rp922 miliar termasuk angka minimal, dibanding berbagai peluang bisnis yang hilang akibat perlakuan terdakwa dan turut terdakwa,” ucap Dicky Asmara.
Menyinggung gugatan yang disampaikan PT DTL kepada PT Pasifik Estatindo Perkasa dan rekannya, pendirian bangunan Hotel Purajaya Beach Resort dilakukan secara sah dengan Surat Perjanjian Pengelolaan Lahan (SPPL). Penggugat telah membayar harga sewa tanah walaupun telah berakhir hak sewa tanahnya. Sedangkan untuk pendirian bangunan diatas tanah sewa, PT DTL telah pula memiliki Ijin Mendirikan bangunan (IMB) dan membayar pula Pajak Bumi dan Bangunan.
Dengan fakta itu, PT DTL telah memiliki hak kepemilikan bangunan Hotel & Resort Purajaya sah menurut hukum dan harus mendapat perlindungan hukum. Maka ketika PT DTL menuntut haknya terhadap kepemilikan bangunan dan fasilitas pendukung, maka pihak yang terlibat dalam pengalihan hak atas alokasi lahan, serta pihak yang merobohkan hotel, dapat disebut melakukan tindakan melawan hukum atau pelaku tindak pidana di satu sisi, namun di sisi perdata merupakan pihak yang melakukan tindakan melawan hukum dengan konsekuensi perdata.

Amok Melayu
Di sisi lain, Ketua Saudagar Rumpun Melayu (SRM) Kota Batam, Megat Rury Afriansyah mengaku hingga saat ini pihaknya sedang mengadukan masalah itu ke Presiden RI Prabowo. ”Kami sedang menunggu respon Bapak Presiden untuk dapat turun tangan dalam kasus pencaplokan tanah dan perobohan bangunan dan fasilitas hotel Purajaya. ”Banyak pihak yang mendesak untuk melakukan aksi untuk menuntut PT Pasifik dan konsorsiumnya mempertanggungjawabkan perbuatan zalim yang mereka lakukan,” ujar Ketua SRM Kota Batam, Rury Afriansyah.
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan kepada Presiden, Ketua SRM Kota Batam itu menyampaikan 5 butir pengaduan. (1) Agar segera turun tangan mengatasi permasalahan mafia lahan & korporasi atau konsorsiumnya yang telah meresahkan pengusaha, khususnya masyarakat adat Melayu. (2) Menindak tegas instansi-instansi pemerintah serta Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, yang terindifikasi berkolaborasi menjalankan permufakatan jahat atau zhalim terhadap masyarakat adat Melayu pada umumnya.
Kemudian butir ke (3) Meminta Bapak Presiden membentuk Satgas khusus dalam rangka membersihkan Kawasan Batam dari praktek-praktek korupi, kolusi dan nepotisme dalam merebut hak-hak masyarakat adat dan saudagar bangsa Melayu. (4) Selaku Masyarakat adat (Tuan Rumah) di Tanah Melayu, kami meminta perlindungan hukum yang absolut dari Bapk Presiden, menjaga penuh hak-hak, dari seluruh element masyarakat Melayu, yakni mulai dari masyarakat pesisir hingga masyarakat adat dan Pengusaha Melayu di Kepulauan Riau, khususny Kawasan Batam.
Dan, yang terakhir Megat Rury Afriansyah menyampaikan pihaknya telah lama menahan gerakan Amok Melayu yang didesak oleh masyarakat adat di Batam dan Kepulauan Riau. Butir kelima, Rury menyebut pihaknya kini menghindari tagar #Amuk_melayu terjadi dari seluruh penjuru negri dapat aman dan sejahtera. ”Jangan sampai Amok Melayu tidak dapat terbendung, karena masalah yang kami hadapi telah menyinggung harga diri atau marwah Melayu,” pungkas Rury.
Redaksi.