Jakarta, 4 Februari 2025
Ketua Komisi VI DPR RI, Dr Hj Anggia Erma Rini, MKM, menyebutkan persoalan lahan di Batam, khususnya pencabutan lahan yang berujung perobohan hotel Purajaya dapat mengganggu kondusifitas iklim usaha di Batam. Bahkan, Anggota Komisi VI DPR RI lainnya menyebutkan ada sebuah rekayasa dalam kasus penarikan lahan serta perobohan hotel milik PT Dani Tasha Lestari (DTL) itu.
”Kami telah menerima beberapa laporan, dan salah satu di antaranya adalah kasus lahan yang dialami oleh perusahaan Hotel Purajaya. Masalah ini harus segera diselesaikan, karena akan mengganggu kondusifitas investasi dan perekonomian di Batam,” kata Anggia Erma Rini, di sela Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VI bersama PT Dani Tasha Lestari dan U Safe Law Firm, di Ruang Rapat Komisi VI, DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, 4/2/2025.

Perobohan hotel Purajaya, kata Anggia, menjadi atensi karena laporan yang diterima Komisi VI menjelaskan persoalan yang serius dan jarang terjadi dalam dunia usaha, khususnya di Pulau Batam. Dalam RDPU yang langsung dipimpin oleh Ketua Komisi VI itu, hadir sekitar 30-ang Anggota Komisi menghadapi rombongan PT DTL, Pengurus Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepulauan Riau, serta kuasa hukum dari U Safe Law Firm.
Salah satu anggota Komisi VI DPR RI yang hadir adalah anak kandung dari Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, yakni Randi Zulmariadi, SM dari Fraksi Partai NasDem. Kehadiran Randi dalam RDPU itu menjadi sorotan rombongan PT DTL dan Tokoh Melayu dari Batam dan Kepri, pasalnya kehadiran putra Muhammad Rudi itu dapat menghambat keterbukaan dalam dialog antara PT Dani Tasha Lestari sebagai pelapor dengan Anggota Komisi VI DPR RI sebagai penerima laporan. Terlihat Randi hadir setelah rapat berlangsung, serta meninggalkan ruangan sebelum peserta RDPU bubar.

Menurut salah satu anggota Komisi VI, Nasril Bahar SE (Fraksi Partai PAN), kasus yang dialami oleh PT DTL atas penarikan lahan dan perobohan hotel, diyakini sebuah rekayasa untuk menyingkirkan pemiliknya. PT DTL, pemilik dan pengelola hotel merupakan satu-satunya pengusaha sukses dari putra tempatan Melayu yang berhasil membangun dan mengelola hotel berbintang 5 dengan investasi mencapai Rp922 miliar.
”Lahan Bapak (Rury Afriansyah sebagai Direktur PT DTL) sangat strategis, bangunan sudah ada, banyak yang mengincar tanah Bapak. Hanya, ada kelalaian kewajiban (memperpanjang alokasi), dan kelalaian selama 11 bulan tersebut dijadikan alasan untuk menarik lahan Bapak untuk kemudian diberikan kepada pihak lain. Memang, ada sebuah rekayasa menyingkirkan bapak, betul itu? Pertanyaan saya, kenapa tidak diurus,” kata Nasril Bahar.
Menanggapi pertanyaan itu, Rury Afriansyah menyatakan pihaknya telah mengurus masalah perpanjangan sejak dinyatakan berakhir. Namun BP Batam tidak kunjung memberi kesempatan untuk mengeluarkan Faktur Tagihan UWT (Uang Wajib Tahunan) BP Batam untuk biaya perpanjangan.

”Terus, dalam perjalanannya, saya ditetapkan sebagai tersangka dengan kasus yang diciptakan, yakni tuduhan penggelapan dan penipuan atas kerja sama dengan Ted Sioeng. Padahal, dana yang diserahkan Ted Sioeng merupakan biaya komitmen yang telah disepakati dalam perjanjian untuk kerjasama membangun Purajaya,” terang Rury.
Setiap kali Rury membela haknya untuk mencegah pengambil-alihan tanah, bahkan hingga perobohan hotel, Direktur PT DTL itu dipanggil ke Markas Besar (Mabes) Kepolisian RI untuk diproses pemeriksaan Berita Acara Pemeriksaan (BAP). ”Setiap kali saya melakukan perlawanan atau membela diri dalam kasus Purajaya, selalu di-BAP,” ujar Rury.
Rury ditetapkan sebagai tersangka pada 2021, atas pengaduan dari Ted Sioeng, pengusaha yang pernah menjadi buronan Interpol karena kasus hutang piutang Rp1,4 triliun dengan Bank Mayapada. Tindakan itu dinilai sebagai upaya kriminalisasi Rury sebagai pemilik lahan dan hotel Purajaya, agar Rury menyerah mempertahankan haknya. Tujuan akhir, menurut Rury, agar tanah dan hotel miliknya dikuasai oleh Ted Sioeng dengan biaya yang lebih murah daripada bekerjasama atau membeli saham Purajaya dari Rury.

Pendekatan Moral Atau Pendekatan Hukum Untuk Kepentingan
Anggota Komisi VI dari Fraksi PDIP, Ir Budi S Kanang, menyebut ada dua pendekatan dalam kasus yang dialami oleh PT DTL atas hilangnya aset berharga berupa tanah dan hotel. ”Perkara ini ada dua pendekatan. Pendekatan hukum dan pendekatan moral. Sering terjadi bahwa aparat yang mungkin sudah punya gol (tujuan) tertentu, bicaranya hanya hukum. Tidak melihat ada moral, ada akhlak Pancasila, ada adat istiadat, seperti kita bahas dalam rapat ini, adat istiadat sebagai bangsa Melayu,” kata Budi S Kanang.
Ketika bicara pada moral, menurutnya, harapan kita Komisi VI akan mengawal keinginan Rury Afriansyah sesuai dengan dua landasan, karena landasan itu juga seharusnya bisa dimaklumi. ”Keterlambatan, sebenarnya bisa dimaklumi, tetapi bisa diterapkan kalau sudah ada inginnya untuk diputuskan (dicabut haknya atas lahan dan dikuasai hotelnya). Kalau ingin diputuskan, ya, jadi diputuskan,” kata Budi S Kanang.
Tetapi, kata Budi S Kanang lagi, kalau ada moral seperti adat-istiadat Melayu yang telah dipelihara sejak zaman leluhur, ada pertimbangan yang mengarah pada kebaikan. ”Itu (pencabutan lahan dan perobohan hotel) bisa dihindari. Hanya jarak setahun kurang, apakah jika ada itikad baik, tidak lebih baik untuk dipertahankan, karena manfaatnya kepada masyarakat jauh lebih baik daripada seperti ini (menjadi kasus yang merugikan investasi),” uapnya.

Menurut penjelasan Rury Afriansyah, dia telah berkali-kali berupaya membujuk Wali Kota Batam Ex Officio Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam untuk mengembalikan tanah kepada pihak PT DTL. ”Pada waktu saya menang PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjungpinang) akhir tahun 2020, saya menghadap kepada Kepala BP Batam tiga kali. Pertama, yang kedua, yang ketiga, pertanyaannya simpel: Kita sampai di mana (jika terus bersikeras untuk bersengketa). Kita ini keluarga Melayu, kenapa terus begini, posisi saya menang,” jelas Rury.
Maksud pertanyaan ‘sampai di mana prosesnya’ yang ditanyakan dalam dialog antara Rury dengan Muhammad Rudi, menurutnya, bertujuan untuk berniat baik. Tetapi rupanya, menurut Rury, tujuan untuk mengembalikan lahan itu kepada PT DTL tidak bakal terjadi, sehingga pada akhirnya dicabut dengan surat pemberitahuan pada 20 Agustus 2019 untuk persil 10 hektar, dan Surat Keputusan tanggal 11 Mei 2020 untuk persil 20 hektar (total lahan PT DTL seluas 30 hektar).
”Saya jawab sudah di PT (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara). Izinkan saya mengelola untuk kebaikan semua,” kata Rury menjelaskan dialognya bersama Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam Muhammad Rudi.
Menjawab permohonan Rury itu, Rudi dengan tegas menyatakan tidak akan mengambil langkah ‘damai’ kepada PT DTL, meskipun telah dilakukan pendekatan kekeluargaan. ”Oh, tidak! Kita fight,” kata Rury menirukan jawaban Muhammad Rudi atas tawaran perdamaian yang diajukan Rury Afriansyah sebagai Direktur PT DTL sebagai pengelola Hotel & Resort Purajaya.
Redaksi