PT DTL Gugat Pelaku Perobohan Hotel Senilai Rp922 M

Batam, 21 Januari 2025.

PT Dani Tasha Lestari (DTL), pemilik Hotel Pura Jaya, melalui Kantor Hukum Usafe Kota Batam, menggugat pelaku perobohan bangunan dan fasilitas hotel Pura Jaya, yakni PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP), senilai Rp922 miliar. Gugatan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri (PN) Batam pada 17 Januari 2025 disertai dengan bukti-bukti yang memperkuat dalil penggugat.

”Klien kami sebagai penggugat merasa sebagai korban sebuah perbuatan yang melawan hukum, dengan fakta-fakta hukum, antara lain tidak adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada penggugat sebagai pemilik bangunan dan fasilitas dalam sebuah keputusan dari lembaga Peradilan yang berkekuatan hukum tetap. Yang menjadi pokok permasalahan, siapa sebenarnya pemilik bangunan, dan siapa yang berhak merobohkan atau memerintahkan perobohannya,” kata Kuasa Hukum PT DTL, Eko Nurisman, SH, MH, kepada wartawan di Batam, Selasa, 21/1/2025.

Kasus perobohan bengunan dan fasilitas hotel itu digugat secara perdata Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dengan Tergugat I PT PEP, Tergugat II PT Lamro Martua Sejati (LMS). Keterlibatan PT LMS karena perusahaan itu bertindak sebagai eksekutor atas Surat Perintah Kerja (SPK) nomor PEP-002/VI.2023 yang diterbitkan oleh Direktur PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP), atas nama Jenni. Robert Sitorus sebagai Direktur PT LMS kemudian mengosongkan seluruh gedung Hotel Purajaya Resort milik PT DTL dan membongkar bangunan serta fasilitas pada dikawal oleh Tim Terpadu yang dibentuk Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Hotel berbintang lima itu telah beroperasi selama 20 tahun dengan memiliki reputasi yang cukup membanggakan, yakni beberapa kali sebagai tempat pertemuan kepala negara dan kepala pemerintahan RI dan negara tetangga. ”Hotel tersebut juga telah berjasa dalam mengembangkan pariwisata di Pulau Batam, serta salah satu pusat pergerakan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Semua fakta-fakta tersebut memperkuat bukti adanya perbuatan melawan hukum,” ucap Eko Nurisman.

Kepala BP Batam Muhammad Rudi (kiri), Direktur PT DTL (Megat Rury Afriansyah)

Dalam pelaksanaan usaha yang berkesinambungan, jelas Eko, PT DTL diwajibkan melakukan perpanjangan penyewaan lahan sebagai perwujudan hak BP Batam sebagai pengelola tanah Pulau Batam dengan mekanisme perpanjangan Uang Wajib Tahunan (UWT), dan telah dilakukan oleh PT DTL. ”Pada tanggal 24 Februari 2020, malah kami menerima surat dari BP Batam nomor B/120/A3/KL.02.02/2/2020, perihal Pemberitahuan Tidak Dapat Menyetujui Rencana Bisnis PT Dani Tasha Lestari. Dasar hukum penolakan perpanjangan akibat rencana bisnis tidak ada,” tegas Eko.

Aset senilai ratusan miliar, kata Eko, tentu saja terus dipertahankan dengan melayangkan gugatan, salah satunya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Tanjungpinang. Di pengadilan pertama dimenangkan PT DTL, tetapi di tingkat pengadilan tinggi dan kasasi kalah. ”Tetapi dasar untuk merobohkan gedung dan merusak fasilitas milik kien kami tidak bisa hanya dengan secarik kertas keputusan pengadilan yang mengadili soal tanah, bukan serta merta seluruh asset di atasnya. Klien kami masih sah sebagai pemilik gedung dan fasilitasnya, lha kok dirobohkan tanpa dasar hukum,” ujar Eko Nurisman.

”Selama dalam masa proses di pengadilan, muncul perusakan bangunan milik klien kami oleh PT Pasifik, yang dilaksanakan oleh PT Lamro, serta dikawal oleh BP Batam. Itu sebabnya kami lakukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum dengan Tergugat I PT Pasifik Estatindo Perkasa, Tergugat II PT Lamro Martua Sejati, dan BP Batam sebagai Turut Tergugat,” jelas Eko Nurisman.

Dalam gugata PMH itu, PT DTL menuntut pembayaran ganti rugi yang tidak pernah dilakukan oleh PT Pasifik Estatindo Perkasa sebagai penerima alokasi lahan yang baru dari Turut Tergugat (BP Batam). Namun Tergugat I justru memanfaatkan Tim Terpadu Kota Batam yang dipimpin oleh Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam Muhammad Rudi untuk melakukan pembongkaran secara paksa terhadap bangunan/aset milik PT DTL. Nilai tanah beserta bangunan mencapai Rp922.400.000.000 atau sembilan ratus dua puluh dua miliar empat ratus juta rupiah.

Lobi Hotel Pura Jaya Hotel & Resort sebelum dirobohkan.

Berbagai jalur hukum

Kasus perobohan dan perusakan bangunan dan fasilitas Hotel Purajaya Beach Resort yang terletak di Batu Besar, Kecamatan Nongsa, Kota Batam, hingga kini masih menjadi perdebatan hangat di kalangan masyarakat. Direktur PT DTL Rury Afriansyah telah berupaya melakukan langkah hukum, antara lain PTUN, Gugatan Perdata, dan Laporan Pidana. Kasus pidana perobohan hingga kini masih mandek di Polda Kepri. Pemilik hotel, melalui kuasa hukumnya, Eko Nurisman, menyatakan bahwa mereka tidak akan berhenti melakukan perlawanan jika belum menerima ganti rugi.

Hotel Purajaya Beach Resort bukan hanya bangunan biasa; hotel ini memiliki nilai sejarah penting bagi Provinsi Kepulauan Riau. Eko Nurisman menjelaskan bahwa hotel ini pernah menjadi tempat di mana para pejuang merumuskan pembentukan Provinsi Kepri. Selain itu, hotel ini juga menjadi lokasi menginap mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat berkunjung ke Batam. ”Purajaya Beach Resort merupakan salah satu hotel pertama di Batam, di mana Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah menginap ditempat tersebut. Tempat ini juga menjadi saksi bisu para Tokoh pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), yang diinisiasi oleh orang-orang Melayu di Kepri,” jelas Syafrianto SH, rekan satu kantor Eko Nurisman.

Melalui berbagai media, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol, Ariastuty Sirait mengatakan BP Batam mengalokasikan lahan 10 Ha kepada PT Dani Tasha pada 1988, dan surat perjanjian pada tahun 1993. Sebelum berakhir, kata Ariastuty, BP Batam telah memberikan kesempatan kepada pihak PT Dani Tasha, tapi tidak ada kesanggupan untuk membayar Uang Wajib Tahunan. Dia juga menyebut BP Batam telah melayangkan Surat Peringatan (SP) 1, 2, dan 3, namun pihak pengelola tidak ada itikad baik mengurusnya. ”Ya seharusnya ada pembayaran, pembangunan, serta pengurusan IMB lahan tersebut. Ini tidak ada,” katanya.

Sebuah penjelasan yang tidak sesuai dengan kondisi, di mana bangunan telah berdiri dan beroperasi selama 20 tahun lebih, disebut harus mengurus Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan membangun, sementara 10 hektar telah dihuni gedung hotel dengan fasilitas kamar Deluxe, 2 Junior Suite dan 1 Presiden Suite. Sementara sisanya 20 hektar dihuni villa, pembangkit, kolam renang, taman bermain dan taman pendukung serta restaurant sebagaimana layaknya sebuah resort.

Redaksi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *