Batam, 17 Oktober 2024
Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam diduga terlibat dalam aksi perobohan gedung hotel Pura Jaya di Nongsa, Kota Batam. Pasalnya, PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP) yang memerintahkan PT Lamro Matua Sejati (LMS) untuk merobohkan gedung senilai Rp400 miliar itu, dilindungi (proteksi) oleh Tim Terpadu atas persetujuan Kepala BP Batam.
”Ya, bisa saja (ada keterlibatan Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam), sehingga kasus pidana yang telah kami laporkan sejak 2023 berjalan lambat. Faktanya, di lapangan perobohan dikawal oleh Tim Terpadu yang biasanya dikerahkan untuk mengawal penggusuran rumah liar,” kata Eko Nurisman kepada Nusa Viral, Rabu, 16/10/2024.
Sebelumnya diakui,kuat dugaan ada orang kuat di Badan Pengusahaan (BP) Batam yang melindungi inisiator perobohan gedung Hotel Pura Jaya, sehingga kasus perusakan hotel yang telah beroperasi lebih dari 20 tahun itu tidak tersentuh hukum. Kuasa Hukum PT Dani Tasha Lestari (PT DTL), pemilik hotel, yakin pengaduan tindak pidana terhadap PT PEP, pada perjalanannya bisa mengarah kepada pimpinan di BP Batam.
”Ya, kami mendengar begitu ada orang kuat yang melindungi perobohan gedung Hotel Pura Jaya. Siapa dia, kami belum dapat menyimpulkan, tetapi kasus perobohan gedung Hotel Pura Jaya telah dilaporkan sejak tahun 2023 dan hingga kini belum ada perkembangan yang signifikan,” kata Kuasa Hukum PT DTL, Eko Nurisman.
Menurut Eko Nurisman, pihaknya telah mengantongi alat bukti dalam kasus pidana tentang perobohan gedung Hotel Pura Jaya. Ada saksi yang melihat perobohan, ada perintah perobohan dari PT PEP, ada barang bukti sebagai bukti petunjuk, dan ada surat-surat yang menyatakan tindakan perobohan itu tidak memiliki dasar hukum. ”Kasus pidana ini tidak berkaitan dengan kepemilikan lahan yang masih dalam sengketa antara pemilik hotel dengan BP Batam,” jelas Eko.
Eko Nurisman menjelaskan, Direktur PT DTL Ruri Afriansyah sebagai pengusaha yang telah menjalankan usaha perhotelan, telah membawa nama harum Batam di tingkat nasional dan internasional. Sekarang, dengan adanya tindak pidana perobohan yang dilindungi, mengalami kerugian yang sangat besar.
”Pak Ruri Afriansyah sebagai Direktur PT Dani Tasha Lestari yang menginvestasikan ratusan miliar dalam perhotelan, telah berupaya menggairahkan dunia investasi di Batam dan Kepri, tetapi tidak diindahkan sama sekali oleh BP Batam. Malah balasannya, aset miliknya dirobohkan tanpa dasar hukum,” keluh Eko.

Eko mengakui, ada unsur tindak pidana pada kedua pihak dalam perobohan gedung Hotel Pura Jaya. Satu pihak BP Batam yang memberi izin terhadap PT PEP untuk merobohkan gedung milik PT DTL tanpa seizin pemilik. Di lain pihak, PT PEP mengeluarkan surat perintah perobohan terhadap barang milik pihak lain. ”Perobohan gedung tersebut merupakan tindak pidana, dan setiap pihak yang terlibat harus dihukum sesuai dengan perundang-undangan,” ucap Eko.
Perobohan Tidak Sah Secara Hukum
Beberapa Waktu lalu, ketika proses perdata kasus perobohan Hotel Pura Jaya berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Batam, seorang saksi ahli dalam sidang perobohan gedung hotel Pura Jaya, yakni Mantan Kepala Sub Direktorat Pertanahan dan Kawasan Khusus, Hendri Firdaus, SH, menegaskan perobohan gedung hotel Pura Jaya tidak sah secara hukum.
Pasalnya, pemilik gedung, yakni PT Dhani Tasha Lestari (DTL) masih memiliki hak prioritas atas tanah, dan kenyataannya masih ada upaya hukum untuk mempertahankan tanah itu.
”Pemilik bangunan gedung hotel Pura Jaya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, masih memiliki hak prioritas yang tidak dibatasi oleh waktu. Hak prioritas itu antara lain untuk memperpanjang sewa tanah (UWT-Uang Wajib Tahunan) yang diperkuat oleh Sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan). Saya jamin BPN (Badan Pertanahan Nasional) tidak akan mencabut HGB sebelum adanya kekuatan hukum atas sengketa di atas tanah yang bersangkutan,” kata Saksi Ahli Kasus Perobohan Gedung Hotel Pura Jaya, Hendri Firdaus.
Pada Peraturan Pemerintah RI nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pada pasal 37 ayat (4) disebut: Tanah yang Dikuasai Langsung oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan dapat diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan enam alasan.
Enam alasan itu yakni: a. tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak; b. syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; d. tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang; e. tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum; f. sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan g. keadaan Tanah dan masyarakat sekitar.
Dasar yuridis itu, menurut Hendri Firdaus, sangat kuat untuk membatalkan pengalokasian tanah kepada pihak ketiga, dalam kasus Hotel Pura Jaya, adalah PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP). ”Penyewa baru harus memastikan bahwa kewajiban PBB (Pejak Bumi dan Bangunan) telah dialihkan kembali kepada BP (Badan Kawasan Batam), untuk seterusnya dialihkan kepada penerima alokasi. Jika tidak, berarti masih ada persoalan hukum. Harusnya, ditunda dulu pengambil-alihan tanah sampai clear secara hukum,” ucap Hendri Firdaus.
Menurut penjelasan Hendri Firdaus, jika ada perusahaan yang menginginkan pengelolaan tanah, harus terjadi pengalihan tanah yang clear secara hukum. Harusnya BP Batam lebih dulu memiliki Hak Pengelolaan Lahan (HPL) yang bebas dari pihak ketiga. HPL, menurutnya, tidak otomaris milik BP Batam. Ada pihak lain yang telah memiliki HPL tanah, dan jika pemilik tanah yang telah mengelola tanah itu diam saja (pun), hanya tidak bisa begitu saja hilang. Sebab pengelola lahan, dalam hal ini PT DTL memiliki hak prioritas.