Batam, 5 September 2024
Sebanyak 8 pengusaha besar di Batam dikabarkan melaporkan Wali Kota Batam Ex Officio Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi, ke Markas Besar (Mabes) Polri di Jakarta, terkait dengan penarikan lahan sepihak. Perbuatan Ex Officio Kepala BP Batam itu dinilai merusak iklim investasi di Pulau Batam dan meniadakan kepastian hukum di Batam.
”Pengaduan (terhadap Wali Kota Batam ex officio Kepala BP Batam) dilakukan oleh para pengusaha secara sendiri-sendiri, tetapi saya mendengar ada 8 pengusaha yang akan melaporkan masalah yang sama. Kami masih menyusun pengaduan agar laporannya terperinci dan tidak kabur. Semua rata-rata modusnya memutihkan lahan, lalu kemudian dijual kepada perusahaan baru, sepertinya kepada orang yang sama,” kata Direktur Utama PT Dani Tasha Lestari, Ruri Afriansyah, kepada wartawan, di Batam, Kamis, 5/9/2024.
Menurutnya, Kepala BP Batam Muhammad Rudi menggunakan seorang pengusaha yang dikenal sebagai spekulan tanah berinisial Ak, bertindak sebagai penentu, sehingga para pengusaha besar itu harus bermohon dan bernegosiasi dengan Ak, jika sekitaranya lahan tanah mereka ingin kembali dikelola. ”Ini yang membuat para pengusaha tersinggung, masakan seorang pengusaha besar harus mengiba ke dia (Ak) agar tanahnya tidak ditarik (BP Batam),” ucap Ruri.
Perilaku itu, menurut Ruri, yang membuat pengusaha marah. Mereka menyebut Wali Kota Batam Ex Officio Kepala BP Batam ‘bermain’ terlalu brutal dan mainnya kasar. Sejumlah sumber menyebut, lahan tanah yang dibatalkan oleh BP Batam, atau ditarik pengelolaannya ke pihak lain oleh BP Batam, berada di area komersil dan tinggi nilai jualnya. ”Boleh saja tidak diperpanjang (sewa tanah oleh BP Batam), tetapi kok semua yang tidak diperpanjang berada di daerah strategis,” ujar Ruri.
Informasi yang dihimpun media ini, pengusaha besar yang dimaksud, antara lain: Kelompok Citra Buana Perkasa yang dipimpin oleh Hartono, CSS Group (Kelompok Citra Shipyard) yang dipimpin Ali Ulai, PT Dani Tasha Lestari (Pura Jaya), dan sejumlah perusahaan besar lainnya. Meski beberapa perusahaan itu belum diverifikasi oleh pimpinan perusahaan-perusahaan itu, namun media ini telah mendapatkan informasi dari pihak terpercaya di organisasi pengusaha.
Pengaduan ke Mabes Polri, menurut informasi yang diterima media ini, merupakan puncak kemarahan pengusaha yang memiliki lahan tanah di daerah strategis. Beberapa di antaranya bahkan mengalami kerugian di atas Rp300 miliar akibat hilangnya peluang industri di atas lahan yang telah diterimanya selama kurun waktu 30 tahun. Padahal, sejak dulu, yakni pada saat Pulau Batam dikelola Otorita Batam, hingga 9 Kepala Otorita Batam (sekarang BP Batam), tidak ada penarikan tanah tanpa kemauan penerima lahan. Konflik penarikan di saat pengelola masih memerlukan lahan tanah baru terjadi di masa Muhammad Rudi sebagai Ex Officio Kepala BP Batam.
Empat persoalan yang dihimpun media ini terkait dengan alokasi lahan tanah di Pulau Batam, sejak Muhammad Rudi sebagai Wali Kota Batam menjabat Ex Officio Kepala BP Batam. Empat masalah itu, antara lain: Pertama, pengguna lahan tidak diperlakukan dengan baik, tanpa memanggil dengan baik untuk ditanya apakah lahan tanah yang dikelolanya akan diperpanjang atau diakhiri. Kedua, lahan tanah di area yang tidak komersil dibiarkan terlantar, tetapi yang ditarik adalah lahan tanah di kawasan strategis.
Ketiga, tanah yang akan ditarik terikat dengan seseorang, yakni subjek penerima alokasi baru dari lahan tanah yang ditarik BP Batam disinyalir diberikan kepada orang yang sama. Pemilik lahan eks Hotel Pura Jaya Nongsa, misalnya, diberikan kepada PT Pasifik Estatindo Perkasa (PEP), kemudian penerima alokasi lahan tanah yang lain juga disinyalir berada di tangan orang yang sama. Kemudian, masalah keempat, penarikan tanah tidak pada waktunya sesuai dengan aturan perundang-undangan, dipastikan merusak tatanan bisnis di Pulau Batam.
Pengaduan ke Mabes Polri, menurut informasi yang diterima media ini, merupakan puncak kemarahan pengusaha yang memiliki lahan tanah di daerah strategis. Beberapa di antaranya bahkan mengalami kerugian di atas Rp300 miliar akibat hilangnya peluang industri di atas lahan yang telah diterimanya selama kurun waktu 30 tahun. Padahal, sejak dulu, yakni pada saat Pulau Batam dikelola Otorita Batam, hingga 9 Kepala Otorita Batam (sekarang BP Batam), tidak ada penarikan tanah tanpa kemauan penerima lahan. Konflik penarikan di saat pengelola masih memerlukan lahan tanah baru terjadi di masa Muhammad Rudi sebagai Ex Officio Kepala BP Batam.
Menurut Suzairi, ekonom dan akademisi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), menyebut masa pengelolaan tanah di BP Batam dengan jenis Hak Guna Bangunan (HGB) terdiri dari 30 tahun, diperpanjang 20 tahun, kemudian diperbarui 30 tahun kemudian, sehingga total waktu 80 tahun. Masa 80 tahun itu, menurutnya, adalah satu paket yang dibagi menjadi tiga, yakni 30 tahun, 20 tahun, dan 30 tahun. Kecuali penerima alokasi tidak memperpanjang.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, pasal 37 (1) Hak guna bangunan di atas Tanah Negara dan Tanah Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun.
Di ayat 3 pada pasal yang sama, kata Suzairi, penataan kembali penggunaan, pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan dapat diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan memperhatikan: a. tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak; b. syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; c. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; d. tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang; e. tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk kepentingan umum; f. sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan g. keadaan Tanah dan masyarakat sekitar.
Untuk kepentingan konfirmasi terhadap pengaduan para pengusaha itu, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol, Ariastuty Sirait, diminta tanggapannya mengenai 8 pengusaha besar di Batam yang melaporkan Ex Officio Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, Muhammad Rudi, ke Markas Besar (Mabes) Polri terkait dengan penarikan lahan sepihak. Penarikan itu dilakukan dengan modus memutihkan UWT lahan, dan tidak memberi perpanjangan UWT, untuk kemudian dialihkan kepada pihak lain.
Tetapi ketika ditanya: Benarkah penarikan (di lahan-lahan strategis) itu untuk satu orang atau satu pihak? Apakah Kepala BP Batam secara personal, ada di belakang penarikan itu? Apakah penarikan lahan tersebut tidak melihat dampak negatif, karena investor dihadapkan kepada kepastian hukum yang sudah hilang? Ariastuty Sirait, meski telah menerima pesan lewat WhatsApp, namun tidak memberi jawaban hingga berita ini dirilis.
Redaksi.