Batam, 3 Agustus 2024
Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Mochamad Afifuddin, menjelaskan sejumlah isu strategis yang harus diantisipasi jelang Pilkada Serentak 2024, antara lain ijazah palsu Calon Kepala Daerah (Cakada). Menanggapi isu yang menjadi perhatian penyelenggara pemilu itu, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Lembaga Nasional Anti Korupsi (LNAK) RI Kepulauan Riau, Azhari Hamid, meminta Kapolda Kepri menuntaskan kasus penggunaan gelar palsu yang dilaporkan sejumlah pihak.
”Kami menghargai upaya rekan-rekan pegiat anti korupsi yang telah mengungkap kasus penggunaan gelar palsu dengan terlapor Muhammad Rudi, Wali Kota dan ex officio Kepala BP (Badan Pengusahaan) Batam. Kasus ini harus dituntaskan, sebab bukti-bukti yang dikemukakan oleh pihak pelapor tidak dapat diabaikan begitu saja. Kasus penggunaan gelar palsu bukan sekadar memalsukan ijazah, tetapi memalsukan eksistensi akademis yang berdampak pada legitimasi kebijakan,” kata Azhari Hamid, Sabtu, 3/8/2024.
Azhari kembali mengangkat masalah penggunaan gelar palsu atas nama Muhammad Rudi, menyusul tidak adanya penyelesaian kasus yang dilaporkan oleh sejumlah pihak dengan bukti-bukti yang dapat dipercaya. ”Jika beliau (Wali Kota Batam, Muhammad Rudi) benar-benar telah menjalani proses akademik di tingkat Strata 1 (Sarjana Ekonomi-SE) dan tingkat Strata 2 (Magister Manajemen-MM), mana bukti karya ilmiahnya? Siapa rekan-rekannya yang seangkatan dan menyaksikannya menjalani proses akademik, kenapa tidak diperiksa,” ucap Azhari.
Akhir 2023 lalu, menurut catatan media ini, Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GN-PK) Kepri telah diperiksa Polda Kepri sebagai pelapor penggunaan ijazah palsu, namun kemudian penyidik mengakhiri pemeriksaan dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyelidikan (SP3). Tetapi setelah menerima surat itu, pihak pelapor menilai alas an SP3 mengada-ada, sebab dalam penyelidikan kasus, pihak Polda tidak transparan, tidak jujur, serta terindikasi menggunakan data yang tidak benar.
Ada tiga isu ini Pilkada 2020 kemarin mengemuka (di 2024). Kasus tersebut salah satunya pernah terjadi dalam pilkada yang digelar di daerah Sumatera Utara (Sumut). Ijazah yang tidak asli itu juga pernah ada di Sumatra Utara dan sejumlah daerah lainnya yang menjadi kewaspadaan KPU. Isu lainnya adalah fenomena kewarga-neagaraan ganda Cakada serta jeda (waktu) mantan terpidana maju sebagai kepala daerah.
Ada tiga alasan mendasar, yang membuat GN-PK mendesak Pol Yan Fitri Halimansyah agar meninjau kembali surat SP3 yang diterbitkan. Pertama, Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 68 (2) menyebut: Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana (S.1) dan Magister Manajemen (S.2) adalah Karya Ilmiah. Apakah penyidik telah mendapatkan bukti karya ilmiah Rudi sebagai syarat mendapatkan gelar akademik S.E, dan M.M.?
Alasan kedua, Rudi merupakan mantan anggota polisi sejak 1984 s.d 2004 yang ditempatkan atau bertugas di Kota Batam, Kepulauan Riau. Kemudian sejak 2004 s.d 2010 menjadi pengusaha mobil di Kota Batam, namanya terkait dalam berbagai kasus penyelundupan mobil, yang dipublikasi beberapa media online dengan inisial namanya RD. Barulah kemudian pada 2009 terpilih menjadi Anggota DPRD Kota Batam, dan seterusnya pada 2011 mengundurkan diri dari Anggota DPRD Kota Batam karena terpilih menjadi Wakil Wali Kota Batam periode 2011 -2016. Bagaimana Rudi dapat mengikuti kuliah sejak tahun 2001 s.d tahun 2005 di STIE Adhy Niaga, Bekasi, Jawa Barat?
Sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 67 ayat (4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh (PJJ), Adhy Niaga tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3). STIE Adhy Niaga tidak memiliki izin menerbitkan ijazah kepada Rudi sebagai mahasiswa yang berdomisili dan bertugas di Batam. Sebab STIE Adhy Niaga, kata Ketua GN-PK Kepri itu, tidak memiliki izin Penyelenggaraan PJJ di Kota Batam dalam bentuk Mata Kuliah, Program Studi, dan/atau Perguruan Tinggi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Ketiga, Rudi tercatat sebagai mahasiswa baru di STIE Adhy Niaga pada tahun 2001 dengan nomor pokok mahasiswa (NPM) 0163342076. Kemudian terlapor lulus Sarjana Ekonomi (S.1) pada tanggal 13 Agustus 2005 (semester genap 2005) sesuai dengan salinan ijazah yang beredar luas di jejak digital. Tetapi pada semester ganjil tahun akademik 2005 (kurun waktu Januari 2005 s.d Juli 2005), terlapor sudah tercatat sebagai mahasiswa di STIE Bisnis Ekonomi untuk menempuh program Pasca Sarjana Magister Manajemen (MM). Hal itu berarti terlapor sudah menjadi mahasiswa S.2 di saat dia belum lulus S.1.
Dengan sederhana, kata Ketua GN=PK Kepri Muhammad Agus Fajri ketika itu, pihaknya menilai ada manipulasi data mahasiswa atas nama Rudi. Sebab data akademis Wali Kota Batam 2015-2024 itu itu tidak sekadar kesalahan input atau salah ketik. Faktanya perguruan tinggi STIE Bisnis Indonesia mencatat secara detail keaktifan terlapor sejak semester ganjil 2005, yakni yang dimulai sekitar bulan Januari 2005 s.d bulan Maret 2005, 5 bulan sebelum terlapor lulus sarjana (S.1). Waktu menempuh kegiatan akademik, yang dapat disimpulkan penuh dengan kebohongan.
KPU Waspadai Ijazah Palsu Cakada
Sebelumnya, beberapa waktu lalu, KPU mencatat setidaknya ada tiga fenomena yang marak terjadi pada gelaran pilkada sebelumnya, yang besar kemungkinan akan terjadi pada pilkada 2024. ”Isu yang muncul atau kejadian yang menonjol di pemilu kemarin (3 isu penting), pilkada kemarin (2020) harus kita antisipasi,” kata Afif dalam rapat koordinasi kesiapan penyelenggaraan pilkada serentak 2024 di Medan, Sumatra Utara, Selasa (9/7/2024).
”Ada tiga isu ini Pilkada 2020 kemarin mengemuka,” sambung dia. Pertama, dia menjelaskan kasus ijazah palsu calon kepala daerah. Pria yang akrab dipanggil Afif itu, mengatakan kasus ijazah calon kepala daerah yang terindikasi palsu perlu diwaspadai. Kasus tersebut salah satunya pernah terjadi dalam pilkada yang digelar di daerah Sumatera Utara (Sumut). Ijazah yang tidak asli itu juga pernah ada di Sumatra Utara dan sejumlah daerah lainnya yang menjadi kewaspadaan KPU. Isu lainnya adalah fenomena kewarga-neagaraan ganda Cakada serta jeda (waktu) mantan terpidana maju sebagai kepala daerah.
Redaksi.