Oleh: Azhari Hamid
Dalam beberapa hari terakhir ada satu atau dua akademisi yang merilis sebuah kesimpulan adanya skenario lawan kotak kosong di pemilu kepala daerah (Pilkada) Batam disimpulkan merusak demokrasi. Tetapi kesimpulan itu tidak disertai dengan adanya inferensi sebagai syarat utama seorang akademisi membuat kesimpulan yang berpotensi menyesatkan.
Seorang dosen universitas negeri di Kepulauan Riau menyebut peluang adanya kotak kosong dalam pilkada November 2024 mendatang adalah demokrasi yang rusak. Jadi, katanya, kalau terpilih pemimpinnya (baca: Wali Kota Batam) ya tidak melalui proses yang baik. Kalau mau disebut baik, tentu melalui proses yang normal.
Akademisi tersebut mencampur-adukkan antara opini dan fakta, dan ironisnya, langsung pada kesimpulan tanpa adanya inferensi sebagai langkah wajib bagi seorang akademisi dalam mengambil kesimpulan. Akademisi tersebut menyimpulkan pilkada dengan kotak kosong merupakan proses yang tidak baik atau tidak normal.
Kesimpulan yang sesat karena tidak ada data dan instrument penguji yang wajib dilakukan warga kampus saat dirinya memakai jubah akademisi. Semestinya, seorang akademisi menjelaskan dua atau lebih variabel yang memiliki hubungan kausal, sehingga dapat menggambarkan hubungan antar variabel tersebut sedemikian rupa di mana fakta yang satu menyebabkan terjadinya fakta yang lain.
Sejak pilkada 2015 lebih dari 60-an daerah di Indonesia yang mengalami pemilu kepala daerah yang diisi oleh satu pasangan melawan kotak kosong. Dari sekian banyaknya pilkada dengan kotak kosong, hanya 1 pilkada yang dimenangkan kotak kosong. Nyatanya, semua daerah yang memiliki pengalaman kotak kosong, tidak mengalami delegitimasi kepala daerah terpilih.
Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah, dan peraturan pelaksanaannya, yakni Peraturan KPU RI nomor 20 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor 14 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota dengan Satu Pasangan Calon, memberi pengesahan pada pilkada dengan satu pasang melawan kotak kosong.
Fakta menyedihkan di dunia akademis Kepri, yang terindikasi digunakan sebagai alat politik untuk kandidat tertentu. Semoga sinyalemen ini tidak benar-benar terjadi, sehingga dunia kampus masih dapat dijadikan sebagai referensi objektif dan cerdas.
Catatan redaksi.
Bahwa ada keresahan sebagian kalangan, terutama pengamat dan akademisi mengenai pilkada satu pasang melawan kotak kosong, ya, benar. Tetapi para pengamat dan akademisi itu memberi variabel yang dapat diuji dengan sebuah instrumen yang diyakini kebenarannya secara umum. Atau setidaknya, adanya inferensi atau proses untuk mendapatkan kesimpulan berdasarkan apa yang sudah diketahui atau diasumsikan. Pernyataan yang diberikan sebagai bukti atau yang diduga mengarah pada kesimpulan yang dikenal sebagai premis.
Misalnya saja, menurut pegiat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadhli Ramdhani, menyatakan ada 3 penyebab munculnya calon tunggal melawan kotak kosong. Pertama, sistem kaderisasi parpol belum jalan dengan baik dan maksimal. Kedua, adanya aturan ambang batas pencalonan kepala daerah. Dan, ketiga, syarat untuk calon perseorangan yang sangat berat.
Jika merujuk pada ketiga faktor itu, faktor mana yang terpenuhi di Pilkada Batam, itu yang harus dijelaskan oleh akademisi tersebut sebelum membuat kesimpulan demokrasi rusak di pilkada Batam 2024.
Jika faktor pertama yang terjadi di pilkada Batam, tidak berarti demokrasi rusak. Partai-lah yang harus berbenah untuk mempersiapkan kadernya menuju Lembaga eksekutif. Sayangnya, salah satu kandidat yang digadang-gadang selama ini, yakni Marlin Agustina Rudi, adalah kader partai. Semula kader Partai NasDem, dan kemudian meloncat ke Partai Gerindra. Langkah yang sering dituding sebagai ‘kutu loncat’ itu bukanlah membunuh demokrasi lokal.
Faktor kedua, yakni adanya ambang batas pencalonan, sepenuhnya terletak pada undang-undang. Aneh dan dapat disebut pandir jika seorang akademisi menyalahkan politik lokal yang diakibatkan aturan umum (baca: Undang-Undang). Dasar yuridis-lah yang membatasi pencalonan, tetapi demokrasi lokal yang disalahkan. Bukankah hal itu disebut sesat berpikir?
Kemudian, faktor ketiga, syarat untuk pencalonan perseorangan yang sangat berat. Alasan itu ibarat pepatah jauh panggang dari api. Sebab, tidak ada calon kepala daerah di Kota Batam yang mencoba jalur perseorangan, kecuali calon yang saat ini diusung oleh 11 partai, bukan Marlin Agustina Rudi, atau nama-nama yang sempat beredar di publik, seperti Jefridin, Marion, atau Ediaman Sinaga.
Faktor lain yang bisa saja terjadi menurut Azwar Aswin, Koordinator Kelompok Riset Budaya Organisasi dan Partisipasi Publik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dia menyebut calon tunggal yang diusung oleh koalisi gemuk parpol di daerah adalah tokoh yang memiliki dukungan finansial kuat. Calon mengeluarkan dana besar karena harus memborong rekomendasi partai di depan. Fenomena ini umumnya terjadi pada penguasa incumbent yang memiliki kekuatan politik absolut yang disebut despotisme.
Jika melihat fakta yang terjadi di Batam, justru kandidat yang kini mengantongi dukungan dari mayoritas partai adalah kandidat yang tidak memiliki finansial kuat seperti kandidat lain. Bahkan, kandidat wali kota Amsakar Achmad dalam setahun terakhir sempat dipreteli hak-hak protokolnya oleh instansi pemerintah kota, seperti pengawalan, kendaraan, dan berbagai hak protokoler lainnya.
Kesimpulannya, tidak ada faktor perusak demokrasi pada fenomena satu pasangan melawan kotak kosong di pilkada Kota Batam pada November 2024 mendatang. Pengamat sekaligus akademisi, yang menuding adanya upaya borong partai jelang Pilwako Batam 2024 adalah pernyataan yang tidak didukung data dan fakta. Pernyataan yang menyesatkan karena tidak lebih dahulu diawali dengan proses inferensi sebagai warga kampus.
Fakta menyedihkan di dunia akademis Kepri, yang terindikasi digunakan sebagai alat politik untuk kandidat tertentu. Semoga sinyalemen ini tidak benar-benar terjadi, sehingga dunia kampus masih dapat dijadikan sebagai referensi objektif dan cerdas. (*)
(Azhari Hamid adalah pemerhati di bidang sosial budaya dan lingkungan hidup)