
MT Arman 114.
Batam, 28 Juni 2024.
Pengadilan Negeri (PN) Batam gagal memutus perkara MT Arman 114 yang diduga membuang limbah dan mencemari lingkungan hidup dengan terdakwa nakhoda kapal, Mahmoud Abdelazis Mohamed, Kamis (27/6/2024). Penyebab gagalnya pembacaan putusan disebut karena Kapten Kapal MT Arman 114 itu menghilang dan tidak diketahui keberadaanya oleh siapapun.
Desas-desus menghilangnya Mahmoud Mohamed Abdelaziz Mohamed Hatiba (MMAMH) telah ber’hembus’ sejak Kamis pagi. Keberadaan Kapten Kapal itu tak lagi diketahui sejak 5 hari sebelumnya. Ada pihak yang menduga, Mahmoud telah ‘berambus’ ke seberang (baca: negara tetangga) dan telah meninggalkan Batam. Sebuah ironi, karena seharusnya, melihat tuntutan yang disampaikan di persidangan, Mahmoud harusnya ditahan karena sanksi hukumnya cukup tinggi, mencapai maksimal 10 tahun.
Dari rangkaian penangangan kasus MT Arman 114, media ini mencatat setidaknya ada kontroversi dalam proses hukum terhadap kasus nomor perkara: 941/Pid.Sus/2023/PN.Btm itu. Berikut uraian kontroversi kasus MT Arman yang berhasil dihimpun redaksi dari berbagai sumber.
- Dua kapal yang dicurigai tetapi hanya MT Arman 114 yang dikejar
Kapal supertanker berbendera Iran, MT Arman 114, dengan ukuran panjang 330 meter dan lebar 58,04 meter melakukan pemindahan muatan dari antar kapal (ship to ship transhipment) dengan kapal yang ukurannya lebih kecil berbendera Kamerun, MT STinos. Keduanya diduga terlibat dalam tindak pidana lingkungan, tetapi yang dikejar dan ditangkap hanya MT Arman 114. Tidak ada penjelasan dari Bakamla mengapa mereka melepaskan atau mengabaikan kapal MT STinos.

- Pasal yang diterapkan unsur kesengajaan tetapi fakta di lapangan adalah kelalaian
Kepala Bakamla RI Laksamana Madya (Laksdya) TNI Aan Kurnia, saat jumpa pers di kantornya, Jakarta, Selasa (11/7/2023) menyebut terjadi pemindahan bahan bakar minyak (BBM) dari satu kapal ke kapal lainnya. Akibatnya, perairan di sekitar kedua kapal itu ditemukan tercemar minyak yang bocor dari kapal asing yang tengah melakukan pemindahan muatan itu.
Pengakuan itu menjelaskan tindakan pencemaran adalah akibat kebocoran atau perbuatan tidak sengaja, tetapi dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), nakhoda MT Arman 114, Mahmoud Mohamed Abdelaziz dituntut dengan pasal 98 ayat (1) UU nomor 32/2009 sebagaimana diubah dengan UU nomor 06/2023 UU nomor 2/2022, dengan dalil ‘sengaja.’ Seharusnya pasal 99 ayat (1) UU yang sama dengan dalil ‘karena kelalaian.’
- Perlakuan terhadap terdakwa berbeda dengan pasal yang diterapkan
Jika pelanggaran UU yang dikenakan adalah pasal 99 ayat (1), seharusnya penyidik dan penuntut menahan Nakhoda MT Arman 114, Mohamed Abdelaziz, karena sanksi hukum yang diterapkan maksimal 10 tahun.
Pasal itu menjelaskan: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Anehnya, penyidik dan penuntut tidak menahan nakhoda sejak dari tersangka hingga menjadi terdakwa, sebab faktanya adalah kelalaian, sebagaimana dijelaskan pasal 99 ayat (1) dengan sanksi hukuman maksimal 3 tahun.
- Aparat mengurus ABK yang tidak terlibat tetapi terdakwa diabaikan
Nakhoda MT Arman 114 Mahmoud Abdelaziz adalah satu-satunya tersangka yang kini menjadi terdakwa, dan jika divonis bersalah akan berubah status menjadi narapidana. Sedangkan 21 anak buah kapal (ABK) tidak menjadi subjek hukum dalam kasus itu. Anehnya, dikutip dari salah satu media, pihak Bakamla memindahkan 21 ABK itu ke Hotel Grand Sydney (GS) pada Jumat, 10/5/2024 tengah malam (pukul 00.00 WIB).
Akibat pemindahan itu, nakhoda sebagai penanggungjawab kapal geram kepada Bakamla dan penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Seharusnya, yang diurus oleh penyidik dan penuntut adalah terdakwa MMAMH, bukan ABK yang tidak masuk dalam subjek hukum. Keberadaan Mahmoud Abdelaziz bahkan tidak diketahui pasti oleh aparat hukum hingga kuasa hukumnya.
”Terakhir ketemu di PN Batam. Selama ini tak tahu juga alamat terdakwa, karena kami hanya bertemu dari kafe ke kafe. Tapi setahu saya dia tinggal di kawasan Harboubay,” kata kuasa hukum Mahmoud. Fakta itu menunjukkan bahwa aparat hukum mengurus yang bukan urusannya, tetapi yang seharusnya menjadi perhatian aparat hukum malah diabaikan.
- Kehadiran terdakwa tidak wajib dalam pembacaan vonis
Dalam sidang PN Batam yang seyogyanya agendanya adalah pembacaan vonis, Ketua Majelis Hakim Sapri Tarigan dan Setyaningsih serta Douglas RP Napitupulu sebagai hakim anggota meminta JPU Karya So dan kuasa hukum terdakwa, Daniel Samosir, mendatangkan MMAMH pada sidang berikutnya, yakni Kamis 4 Juli 2024.
Akibatnya, sidang yang seharusnya beragenda pembacaan vonis diundur satu pekan. Padahal, sesuai dengan UU Kekuasaan Kehakiman yakni UU 48/2009, dalam ketentuan pasal 12 ayat 2 dinyatakan: ”Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.”