
Pembalakan liar untuk mengambil kayu gelondongan di Labura, Sumut, 2/3/2024.
Labura, 2 Maret 2024.
Perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan yang disebut mafia, mulai merambah ke berbagai aktivitas yang merugikan masyarakat luas dan lingkungan. Salah satu fakta adanya mafia, yakni perambahan hutan lindung (sebut illegal logging) di Desa Poldung, Kecamatan Aek Natas, Kabupaten Labura, Provinsi Sumatera Utara, pada Sabtu, 2/3/2024.
”Fenomena kerusakan lingkungan dengan merambah hutan lindung untuk mengambil kayu yang disebut illegal logging, di berbagai tempat, termasuk di Labura, merupakan kejahatan massif. Umumnya dilakukan oleh pihak yang bersembunyi di balik lemahnya pengawasan, atau bahkan dapat membeli aparat yang seharusnya bertugas mencegah kejahatan,” kata HS Dotulong, SH, MH, kepada Nusa Viral, Minggu, 3/2/2024.
Praktik illegal logging, kata HS Dotulong, jika pelakunya tidak tersentuh hukum, menjadi bukti adanya mafia yang bekerja di balik perusakan lingkungan untuk keuntungan mafia itu sendiri, serta aparat yang seharusnya bertindak tetapi tidak melakukan apa-apa. ”Sayang sekali, padahal kita memiliki undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Ke mana aparat penegak hukum di bawah Kementerian Kehutanan serta Kepolisian,” ucap Dotulong.

Keberanian Para Mafia itu, lebih tepat disebut ‘nekad.’ Pasalnya, hutan dijarah untuk mengambil kayu gelondongan dengan nilai ekonomi fantastis, yakni mencapai Rp2 juta hingga Rp5 juta per meter kubik, atau Rp2 miliar hingga Rp5 miliar per seribu meter kubik. Jumlah kayu gelondongan yang dirambah di hutan lindung (HL) kawasan itu mencapai puluhan ribu meter kubik per bulan.
Hasil investigasi media ini bersama sejumlah media yang peduli lingkungan, dalam beberapa waktu lalu di Aek Sarula Desa Poldung, Kecamatan Aek Natas, Kabupaten Labura, Provinsi Sumatera Utara, mengungkap fakta intens-nya pelaku illegal logging. Tampak kondisi HL di Gugus Bukit Barisan itu tereksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Bukti adanya kegiatan illegal tampak berupa perambahan hutan dan pengambilan kayu bulat (log). Lokasi HL di kawasan itu terjadi perusakan hutan dengan membangun jalan darurat untuk memasukkan sejumlah alat berat, seperti excavator yang akrab disebut ‘bego’ dan bulldozer dan traktor di area tersebut. Dalam penelusuran koordinat, sesuai Google Maps, kawasan itu merupakan Hutan Lindung.
Ancaman sanksi berat hingga hukuman seumur hidup dan denda hingga Rp1 triliun terdapat pada UU nomor 18 tahun 2013. Meski demikian, para pelaku pembalakan liar tidak pernah ciut nyalinya. Mereka terus melakukan kerusakan hutan, meski sanksi hukum berat, karena aparat diduga berada di pihak pelaku perambah hutan.
Fenomena kerusakan lingkungan dengan merambah hutan lindung untuk mengambil kayu yang disebut illegal logging, di berbagai tempat, termasuk di Labura, merupakan kejahatan massif. Umumnya dilakukan oleh pihak yang bersembunyi di balik lemahnya pengawasan, atau bahkan dapat membeli aparat yang seharusnya bertugas mencegah kejahatan
HS Dotulong, SH, MH, praktisi hukum dan pers di Jakarta
Hingga berita ini dipublis, pelaku perusak hutan, khususnya di Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura) Provinsi Sumatera Utara, masih terus terjadi. Hal ini terbukti dimana mereka masih terus melakukan aktivitasnya.


Data pustaka peraturan perundangan yang dilakukan media ini menjelaskan hukuman bagi para pelaku Illegal Logging dan perusak hutan, baik oleh individu maupun korporasi, terdapat pada Bab X Ketentuan Pidana. Pada pasal 82 s.d pasal 109 UU nomor 18 tahun 2013, disebut sanksi hukum bagi para pelaku illegal logging atau perambah hutan diatur pada pasal 93 dan pasal 94 UU itu.
Pasal 93: (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja: a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c; b. menjual, menguasai, memiliki, dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau; c. membeli, memasarkan, dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
(2) Orang perseorangan yang karena kelalaiannya: a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c; b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau; c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);

Pada ayat selanjutnya, yakni (3) Korporasi yang: a. mengangkut dan/atau menerima titipan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c; b. menjual, menguasai, memiliki dan/atau menyimpan hasil perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf d; dan/atau; c. membeli, memasarkan dan/atau mengolah hasil kebun dari perkebunan yang berasal dari kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 94 (1) Orang perseorangan yang dengan sengaja: a. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a; b. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c; c. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d; dan/atau; d. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan/atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah);
(2) Korporasi yang: a. menyuruh, mengorganisasi, atau menggerakkan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a; b. melakukan permufakatan jahat untuk melakukan pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c; c. mendanai pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d; dan/atau; d. mengubah status kayu hasil pembalakan liar dan atau hasil penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, seolah-olah menjadi kayu yang sah atau hasil penggunaan kawasan hutan yang sah untuk dijual kepada pihak ketiga, baik di dalam maupun di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf f dipidana dengan pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama seumur hidup serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) “ demikian bunyi Pasal 93 dan Pasal 94 UU No 18 Tahun 2013.
Berikut link lengkap UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pemberantasan Perusakan Hutan
Kalau merujuk kepada UU Nomor 18 Tahun 2013, maka siapapun termasuk Para Pejabat dan atau Para Aparat Penegak Hukum (APH) yang terbukti terlibat maka harus diberi sanksi agar menimbulkan efek jera terhadap para pelaku Ilegal Logging dan Perambahan Hutan. Hal ini bisa dilihat Pada Pasal 104, 105 dan 106 pada UU Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan itu.
Tindak Pidana terhadap kehutanan merupakan Kejahatan Kemanusiaan. Sehingga, permasalahan Kawasan Hutan dan sekitarnya bukan hanya masalah Labura atau Indonesia tetapi sudah menjadi permasalahan Dunia Internasional. Sehingga siapapun yang melakukan kejahatan terhadap Kawasan Hutan dapat dikategorikan sebagai Penjahat Kemanusiaan. Hukuman Seumur Hidup serta Pidana Denda paling sedikit Rp 20 Milyar dan paling banyak Rp 1 Triliun sebagaimana diatur dalam Pasal 94 UU Nomor 18 Tahun 2013 sangat pantas diterapkan bagi para pelakunya. Maka, salah satu tujuan utama dibuatnya Sanksi Berat bagi Para Pelaku sesuai amanah UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah agar terjadi Efek Jera bagi para pelakunya.
Sampai berita ini ditayangkan, belum dapat terkonfirmasi siapa dalang dan pelaku utama dibalik semua dugaan praktek illegal logging dan perambahan hutan ini, baik itu individu maupun korporasi. Untuk itu, hanya Pihak Berwenang lah yang paling bisa mengusut tuntas kasus ini. Baik itu dari Pihak Kementerian Kehutanan RI serta Para APH terkait lainnya sesuai kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku khususnya UU Nomor 18 Tahun 2013. (RSH)