Akademisi UMRAH Minta Proyek Rempang Eco City Tidak Dilanjutkan

* UMRAH Bantah Kerjasama AMDAL Dengan BP Batam

Batam, 11 Oktober 2023

Akademisi dari Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH), Prof Syuzairi, meminta BP Batam tidak memaksakan proyek Rempang Eco City (REC) karena banyaknya masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sebaiknya investasi skala besar diserahkan kepada Pemerintah Daerah, karena masa kerja Badan Pengusahaan (BP) Batam tinggal 60 tahun.

”Investasi perlu dipertahankan, seperti perusahaan kaca Xinyi, jika benar-benar perusahaan tersebut telah siap menanamkan modal di Batam. Tetapi proyek bermasalah seperti Rempang Eco City sebaiknya dihentikan. Namanya PSN (Proyek Strategis Nasional), tetapi kita belum tahu apa yang akan dibangun, fakta yang terjadi adalah menabrak aturan dan bahkan melanggar HAM (Hak Azasi Manusia),” kata Prof Syuzairi, kepada Nusa Vira, 11/10/2023.

Proyek REC itu, kata Syuzairi, harus dibatalkan karena telah melukai warga masyarakat sebagai tujuan pembangunan serta telah melabrak banyak aturan perundang-undangan. ”Sebenarnya, kalau proyek itu (REC) dilakukan sesuai dengan aturan dan tidak menimbulkan pelanggaran HAM, akan berdampak positif terhadap pembangunan Batam khususnya dan Kepulauan Riau pada umumnya. Tetapi sekarang sudah seperti benang kusut. Karena itu, proyek ini tidak boleh dilanjutkan,” ucap Syuzairi.

Dijelaskan, Otorita Batam (OB) yang kini berubah nama menjadi BP Batam, menyerahkan pengelolaan Pulau Rempang dan Galang ke PT Makmur Elok Graha (MEG) karena dua alasan. Pertama lahan di Rempang dan Galang disebut status quo, dan kedua, usaha yang dikelola di Rempang berkaitan dengan maraknya kegiatan kehidupan malam, antara lain perjudian, yang tumbuh di hampir setiap sudut kota di Pulau Batam.

Pernyataan Syuzairi sesuai dengan Perjanjian nomor 66 paragraf 10 huruf (b) yang menyebut: Bahwa dalam rangka mengurangi dampak negatif perkembangan pariwisata dan kehidupan malam di Kota Batam maka perlu dibangun suatu Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif di Pulau Rempang sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Batam nomor 17 tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam berikut perubahannya pada Perda nomor 3 tahun 2003.

Pengelolaan Rempang seharusnya diikuti dengan proses HPL dan pelepasan hutan. Tetapi, menurut Syuzairi, BP Batam tidak melakukan kewajibannya akibat PT MEG tidak lagi berminat mengelola KWTE. ”Kemudian, TW (pengusaha nasional Tomy Winata) batal menyelenggarakan KWTE sementara di Marina City, di mana dalam perjanjian diamanatkan PT MEG seharusnya mengelola KWTE sementara 5 tahun di Marina, Tanjunguncang, sambil menunggu pembangunan di Rempang. Akhirnya, perjanjian itu sudah dibatalkan oleh semua pihak melalui perjanjian itu sendiri,” katanya.

Karena itu, Perjanjian 2004 itu nggak bisa dilaksanakan. Apalagi MoU itu berada dari kawasan hutan. Pertanyaannya, dapatkah izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada saat itu? Tidak ada, karena sampai sekarang masih berproses. Akibat aturan-aturan yang telah ditabrak itu, maka muncul kebohongan demi kebohongan di area publik. Itulah sebabnya saya minta proyek REC tidak dilanjutkan.

Prof Syuzairi, Dosen Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH)

”Sebelumnya, pada tahun 2002 Rempang Galang dinyatakan oleh Kemendagri sebagai status quo. Saya beberapa kali rapat untuk mencabut istilah itu (status quo). Karena waktu itu (tahun 2001 dan 2002) ada perebutan antara Otonomi dengan Otorita. Oleh Menteri PUPR (Departemen/Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) diposisikan status quo,” tutur Syuzairi.

”Karena itu, Perjanjian 2004 itu nggak bisa dilaksanakan. Apalagi MoU itu berada dari kawasan hutan. Pertanyaannya, dapatkah izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada saat itu? Tidak ada, karena sampai sekarang masih berproses,” kata Syuzairi. Dia mengakui akibat aturan-aturan yang telah ditabrak itu, maka muncul kebohongan demi kebohongan di area publik. Itulah sebabnya mantan Dekan Fakultan Ekonomi UMRAH itu meminta proyek REC tidak dilanjutkan.

Bantah Kerjasama Pembuatan Kajian AMDAL di Rempang

Sementara itu, Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) membantah pihaknya bekerjasama dengan BP Batam dalam kajian untuk penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Pulau Rempang. Wakil Rektor III UMRAH, Suryadi, menyebut sampai saat ini UMRAH belum pernah melakukan kajian AMDAL atau kajian apapun di Rempang.

”Tidak ada sama sekali. Saya sampaikan, itu adalah hal yang keliru dan informasi yang menyesatkan,” kata Suryadi dikutip dari salah satu media setempat. Ia menyayangkan ada surat yang beredar dengan menyatakan pembuatan kajian AMDAL oleh UMRAH berlogo BP Batam. Informasi itu, katanya, merupakan informasi keliru.

”BP Batam juga keliru jika ada informasi seperti itu. Kita tidak punya LPJP (Lembaga Penyedia Jasa Penyusun). Jadi, kalau kita buat AMDAL itu (UMRAH) ya tidak mungkin,” ucapnya. Kendati demikian, jika ada kajian AMDAL yang dibuat oleh BP Batam dan melibatkan satu atau dua orang dosen UMRAH, maka itu sifatnya personal dan bukan dari lembaga.

”Kalau itu ada secara personal, maka itu sah sah saja jika dia memiliki kualifikasinya. Jadi, mereka di-hire atas keahlian mereka,” tegasnya. Ia menyampaikan, pembuatan kajian AMDAL juga harus melihat sisi ekologi, sisi ekonomi, dan sisi komunitas.

”Kalau secara pribadi udah sungsang karena sudah ada upaya relokasi, amdal baru mau dibuat. Kita berharap, jika adanya kajian AMDAL ini diteruskan, maka tiga sisi itu harus menjadi perhatian yang serius,” tegasnya. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *