PSN Rempang Eco City Diduga Melawan Hukum

Batam, 9 Oktober 2023

Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City (REC) seluas 17.000 hektar yang diserahkan bulat-bulat kepada PT Makmur Elok Graha diduga melawan hukum. Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam berdalih PSN itu merupakan kelanjutan perjanjian yang ditandatangani pada 26 Agustus 2004, tanpa menjelaskan objek dan subjek hukum perjanjian nomor 66 tahun 2004 spontan telah gugur.

”Kami sedang melakukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap objek dan subjek hukum. Objek hukum Pulau Rempang sebagai kawasan Eco City yang dulu disebut sebagai KWTE (Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif), sudah seharusnya gugur dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam proyek Rempang Eco City, apalagi proyek tersebut merupakan Proyek Strategis Nasional. Baik secara objek subjek hukum, maupun secara objek hukum, proyek tersebut jelas-jelas melawan hukum,” kata praktisi Hukum Batam, Erwinta, kepada Nusa Viral, Senin, 9/10/2023.

Gugatan perdata telah didaftarkan di PN Jakarta Selatan, dan saat ini pihaknya sedang menyelesaikan penyusunan memori gugatan. ”Dasar perjanjian di tahun 2004 itu sudah tidak berlaku (ilegal), sementara Kepala BP Batam menjadikan dokumen perjanjian itu sebagai dasar dalam percepatan pembangunan kawasan Rempang Eco City. Dua objek itu berbeda dan tidak bisa dianggap sebagai satu objek,” jelas Erwinta.

Proyek yang ditandatangani pada Perjanjian No 66 di Notaris Nurhayati Suryasumirat SH, pada tanggal 26 Agustus 2004, kata Erwinta, dilandaskan pada Perda nomor 17 tahun 2001 tentang Kawasan Wisata Terpadu (KWT) dan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE). Di dalamnya ada unsur perjudian, antara lain di Perjanjian 66 pasal 3 butir 2 disebut: Gelanggang bola ketangkasan; Gelanggang permainan mekanik/elektronik (Roulette, Blackjack, Baccarat, Creps, Keno, Tombola, Super Ping-pong, Lotto Fair, Satan, Paykyu, Slot Machine (Jackpot), Panti Pijat; Panti Mandi Uap; Klab Malam; Diskotek; Musik Hidup; Karaoke.

Papan pelarangan usaha terhadap lahan yang didirikan oleh BP Batam di sejumlah lokasi pertanian dan peternakan warga. Padahal, mereka sudah membeli lahan dan mengurus surat-surat.

Sementara di dalam perda nomor 17 tahun 2001 tentang Kepariwisataan di Kota Batam, pada pasal 6 butir 2.c.2 disebut: Gelanggang Bola Ketangkasan; Gelanggang Permainan Mekanik/Elektronik (sama dengan mesin judi; Arena Bola Sodok (Billiard); Panti Pijat; Panti Mandi Uap; Klab Malam; Diskotek; Musik Hidup; dan Karaoke. Akibat adanya aktivitas perjudian, maka proyek KWTE akhirnya ditutup saat Kapolri dijabat oleh Jenderal Polisi Sutanto, yang tegas membersihkan perjudian di Indonesia sejak menjabat pada 8 Juli 2005 sampai dengan 30 September 2008.

Kemudian, pemberian Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Pulau Rempang dan Galang sesuai Keppres nomor 28 tahun 1992 kepada Otorita Batam yang saat ini menjadi BP Batam, jelas Erwinta, bukan serta merta begitu saja HPL langsung dimiliki oleh BP Batam. ”Diktum keenam dari Keppres tersebut disebut: Hal-hal yang bersangkutan dengan pengelolaan dan pengurusan tanah di dalam wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang, termasuk usaha-usaha pengamanan penguasaan, pengalihan, dan pemindahan hak atas tanah diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.” Pengaturannya terdapat pada Keputusan Kepala BPN nomor 9-VIII tahun 1993 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah di Daerah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau-Pulau Sekitarnya,” ucap Erwinta.

Ada 7 persyaratan yang harus dipenuhi oleh Otorita Batam. Salah satunya pada butir c disebutkan bahwa: ”Apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah. Dan, sampai sekarang BP Batam belum melakukan langkah-langkah tersebut, tetapi langsung mengusir penduduk serta para petani di Pulau Rempang,” keluh Erwinta.

Dalam kasus Pulau Rempang, yang menjadi subjek hukum adalah DPRD Kota Batam, Pemerintah Kota Batam, dan Otorita Batam yang saat ini berganti nama menjadi BP Batam. Sementara objek hukumnya adalah tanah seluas 1.700 hektar di rempang, serta 300 hektar di Pulau Setokok dan 300 hektar di Pulau Galang, sehingga total luas yang diserahkan ke PT MEG mencapai 17.600 hektar. ”Secara objek hukum KWTE sudah gugur, dan PSN Eco City belum memiliki HPL, sementara secara subjek hukum tiga lembaga yang terlibat dalam pemberian lahan kepada PT MEG sudah tidak sejalan,” kata Erwinta.

Ketua HKTI Kota Batam, Gunawan Satari bersama para pengurus HKTI Batam.

Apabila di atas areal tanah yang akan diberikan dengan Hak Pengelolaan tersebut masih terdapat tanah, bangunan dan tanaman milik rakyat, pembayaran ganti ruginya wajib diselesaikan terlebih dahulu oleh penerima hak, demikian pula pemindahan penduduk ke tempat pemukiman baru, atas dasar musyawarah. Dan, sampai sekarang BP Batam belum melakukan langkah-langkah tersebut, tetapi langsung mengusir penduduk serta para petani di Pulau Rempang.

Erwinta, Praktisi Hukum dan HKTI.

Ada yang aneh dalam dokumen PSN Eco City, yakni BP Batam mengeluarkan Keputusan Kepala BP Batam nomor 129/KA-A3/2023 tentang Pengelolaan Kawasan Rempang Eco City oleh PT Makmur Elok Graha pada tanggal 27 Juni 2023 menanggapi surat dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI nomor IPW 4.3-797/SES.M.Ekon/06/2023 pada tanggal yang sama, yakni 27 Juni 2023. Kemudian disusul dengan surat Wali Kota Batam kepada DPRD Kota Batam pada 14 Juli 2023 dengan pertimbangan surat DPRD Kota Batam pada 17 Mei 2004 perihal Memorandum Of Understanding (MOU) dan Perjanjian di Notaris 26 Agustus 2004.

Secara terpisah, ada lagi surat Keputusan Sekretaris Daerah Kota Batam nomor KPTS 74/SEKDA/HK/VII/2023 tentang Dukungan Pemerintah Kota Batam atas Kebijakan Pemerintah Pusat Terhadap Percepatan Pengembangan Pengelolaan Kawasan Rempang pada Juli 2023, tidak diketahui tanggal penerbitan surat. Namun dari fakta-fakta itu, menurut Erwinta, subjek hukum tidak berada dalam sebuah kesepakatan seperti saat membuat kesepakatan pada 2004. ”SK Perjanjian yang dibuat pada tahun 2004 otomatis gugur karena objek hukum diubah oleh subjek hukum yang berbeda,” jelas Erwinta.

”Kalau mau diubah, subjek hukum yang sama harus secara bersama-sama mengubah objek hukum, yakni DPRD Kota Batam, Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam serta PT MEG. Karena objek hukum bermasalah, bahkan melanggar hukum karena terkena pasal perjudian, dan subjek hukumnya juga bermasalah, maka otomatis dasar hukum terhadap penguasaan lahan di Pulau Rempang sudah batal demi hukum,” tutur Erwinta.

Dalam kajian redaksi media ini, perjanjian yang dibuat pada 26 Agustus 2004 seharusnya dibatalkan, karena terjadi maladministrasi yakni melampaui undang-undang. Misalnya, pada pasal 12 Perjanjian nomor 66 antara Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam, dan PT MEG, disebut: Dalam hal Pihak Ketiga (PT MEG) memerlukan pendanaan dari Bank maupun lembaga keuangan lainnya, baik lokal maupun internasional untuk melaksanakan pembangunan dan pengelolaan Kawasan Rempang termasuk KWTE maupun KWT dan kawasan penyangga, Para Pihak sepakat bahwa hak-hak berikut segalanya di dalam perjanjian ini dapat dialihkan, dibebani hak tanggungan dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan dan persyaratan dari bank dan lembaga keuangan.

Sementara pembebanan Hak Tanggungan sesuai Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah, pada pasal 4 disebut: Pasal 4 Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah: a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan. Kenyataannya, pada saat perjanjian itu dibuat hingga saat ini, PT MEG tidak memiliki HGU atau HGB, karena HPL tanah belum diberikan oleh BPN, bahkan pelepasan hutan lindung baru pada tahan Konsultasi Publik yang dilakssnakan di Sembulang, Rempang, pada 30 September 2023 lalu. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *