Semakin Keliru, Kebijakan Ex Officio Harus Ditarik ke Pusat

HKTI Minta Lahan Petani yang Terlanjur Ditarik BP Batam Dikembalikan

Batam, 8 Oktober 2023

Pengusaha asal Kepulauan Riau, Heri Tosa, menilai kebijakan Ex Officio merupakan kebijakan yang keliru, sehingga harus diperbaiki dengan mengembalikan kepemimpinan Badan Pengusahaan (BP) Batam ke pemerintah pusat atau Kementerian. Sementara Perempuan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Kota Batam meminta BP Batam membatalkan penarikan lahan petani dan peternak di Rempang.

”Persoalan di Pulau Rempang akan bisa selesai apabila jabatan Ex officio Kepala BP Batam dicabut dari wali kota ke pemerintah pusat setingkat menteri. Pasalnya, kepentingan investasi sering bertabrakan dengan kepentingan politis. Sedangkan jabatan Wali Kota Batam adalah jabatan politis,” kata Heri Tose, pengusaha dan Ketua Asosiasi Penambang Pasir Laut (APPL) Provinsi Kepri, kepada wartawan di Batam, 8/10/2023.

Heri Tosa memaparkan, dari awal pengembangan BP Batam yang dulu dikenal dengan Otorita Batam (OB), dibentuk di masa kepemimpinan Soeharto sebagai presiden, untuk menjadi penyeimbang wilayah Republik Indonesia (RI) yang berbatasan dengan negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Sehingga, kata Heri Tosa, pemerintah menempatkan kewenangan setingkat menteri.

Sekarang, semakin keliru, aturan sudah dibolak-balik, sehingga wali kota menjadi Ex Officio Kepala BP Batam, yang seharusnya berada di tangan pemerintahan pusat. Kini, kewenangan yang begitu besar berada di tangan pemimpin politik dengan kepentingan politik tingkat lokal yang tergolong sempit. ”Gubernur (Kepulauan Riau) saja tidak bisa melakukan intervensi di BP Batam, bagaimana mungkin kepentingan besar terhadap investasi bisa bertumbuh dan terjaga,” jelasnya.

Dengan aturan yang keliru tersebut, kata Heri Tosa, maka muncullah kebijakan yang keliru. Seharusnya tidak boleh memaksakan kehendak, dengan perintah membersihkan 17.000 hektar di Rempang, dan mengusir seluruh warga di sana. ”Jangalah kita paksakan kehendak. Kalau harus dibangun, kan, masih banyak lahan yang tidak harus mengusir rakyat di sana, bangunlah di situ,” ucapnya.

”Anak kecil disiram dengan gas air mata, kok dianggap tidak masalah. Lalu aparat keamanan melakukan tindakan represif, tidak dipersoalkan? Ini karena ada kepentingan yang dipaksakan. Terjadilah pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia). Ini pelanggaran HAM berat lho. Jika HAM di tingkat gagal, nanti akan turun HAM tingkat Internasional. Bukannya meningkatkan investasi, malah bisa sebaliknya,” ujar Heri Tosa.

Anak kecil disiram dengan gas air mata, kok dianggap tidak masalah. Lalu aparat keamanan melakukan tindakan represif, tidak dipersoalkan? Ini karena ada kepentingan yang dipaksakan. Terjadilah pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia). Ini pelanggaran HAM berat lho. Jika HAM di tingkat gagal, nanti akan turun HAM tingkat Internasional. Bukannya meningkatkan investasi, malah bisa sebaliknya.

Heri Tosa, Pengusaha Kepri.

Sebelumnya, kata Heri Tosa, sudah ada kajian dan masukan dari berbagai lembaga dan ahli tentang ex offico Kepala BP Batam. Ada kajian Universitas Gajah Mada (UGM) dan rekomendasi dari Ombudsman RI. ”Kasus di Pulau Rempang bisa diatasi jika Ex Officio ditarik kembali ke (Pemerintah) Pusat. Munculnya kasus ini karena banyak kebijakan yang dibuat tidak sesuai aturan, dan akar masalahnya di jabatan ex officio yang diserahkan ke tangan wali kota.”

Dikembalikan ke Petani dan Peternak

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Perempuan Tani HKTI Kota Batam, Dewi Koriati, menjelaskan ada 20.000 pekerja yang hidup dari kegiatan pertanian dan peternakan di Pulau Rempang. Hasil pertanian dan peternakan di Rempang bisa menyuplai sekitar 40 persen hingga 80 persen kebutuhan sayur, daging ayam dan telur di Kota Batam.

Akibat kebijakan BP Batam yang menutup semua usaha pertanian dan peternakan di Pulau Rempang, lalu kemudian tanahnya diberikan kepada PT Mega Elok Graha (MEG) untuk dijadikan proyek Rempang Eco Green (REG), maka kegiatan pertanian dan peternakan spontan berhenti. ”Kebutuhan di pasar daging ayam dan telur ayam, serta kebutuhan sayur mayur bisa berakibat fatal,” kata Dewi Koriati.

Kebijakan Kepala BP Batam yang menutup aktivitas petani dan peternak di Rempang membuat para pengusaha dan pekerja panik. BP Batam mengeluarkan Surat Peringatan (SP) 1, 2 dan 3 dalam waktu yang sangat berdekatan. Jarak SP 1 ke SP 2 hanya empat hari dan jarak dari SP 2 ke SP 3 hanya satu minggu. Bahkan ada juga petani yang tidak menerima.

Penggusuran peternak dan petani di Rempang sangat berdampak kepada masyarakat luas di Batam. Satu diantaranya harga sejumlah kebutuhan pokok semakin mahal lantaran bergantung penuh kepada wilayah lain dan stok pangan di Batam menipis. ”Warga Batam kini mulai merasakan harga daging ayam yang semakin mahal. Kami hanya ingin tolong berikan kami lahan yang layak untuk bertani lagi dan ganti rugi hasil pertanian kami. Nyangkul, pupuk, traktor butuh biaya,” kata Dewi Koriati.

Tidak itu, selama ini petani juga bisa dikatakan berinvestasi di Rempang, meskit tidak dalam jumlah besar mencapai miliaran rupiah. Misalnya pembelian bibit, pupuk dan peralatan bertani. Sehingga diharapkan pemerintah bisa mengganti kerugian yang dialami oleh para petani dan peternak itu. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *