Nafsu Pretensi Jadi Kepala BP Batam Abai Tanggungjawab Sebagai Wali Kota

* Membongkar Jabatan Ex Officio Sebagai Produk Gagal Pemerintah (Bagian 3)

Azhari Hamid, Wartawan Nusa Viral

Batam, 25 September 2023

Nafsu pretensi (baca: nafsu menggebu-gebu) sebagai Kepala Badan Pengusahaan (BP) Batam, membuat Muhammad Rudi nyaris melupakan jabatan utamanya sebagai Wali Kota Batam. Ketika kedua jabatan itu bertentangan secara mendasar, seharusnya Muhammad Rudi memprioritaskan jabatan utamanya sebagai Wali Kota Batam, bukan sebagai ex officio Kepala BP Batam.

Di dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 32 ayat 3 disebut: Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten/Kota. DPRD merupakan perwakilan rakyat, sehingga tugas Kepala Daerah adalah mengutamakan kepentingan rakyatnya. Kemudian ditekankan pada pasal 43 huruf (f), Kepala Daerah mempunyai kewajiban: Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. Kemudian di pasal 48 huruf (b) dijelaskan Kepala Daerah dilarang: Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok yang secara nyata merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga dan golongan masyarakat lain.

Sebaliknya, sebagai Kepala BP Batam, menurut Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, pada pasal 8 ayat (2) Badan Pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan. Dewan Kawasan sebagai pengarah dalam tugasnya sebagai Kepala BP Batam, berorientasi pada pengusahaan dan kepentingan dunia usaha. Dua kutub yang berbeda, yang jika terjadi benturan kepentingan antara pengusahaan dengan kepentingan rakyat, seorang Wali Kota Batam ex officio Kepala BP Batam harusnya faham mana jabatan yang pokok, mana jabatan tambahan.

Muhammad Rudi seharusnya faham, bahwa jabatannya sebagai Wali Kota merupakan jabatan pokok. Sedangkan jabatan sebagai Kepala BP Batam ‘hanya’ ex officio. Ex officio artinya karena jabatan. Artinya, dia menjadi Kepala BP Batam adalah karena jabatannya sebagai Wali Kota Batam. Tugas pokoknya adalah Wali Kota Batam, namun karena kebijakan pemerintah, jabatan Kepala BP Batam diberikan sebagai jabatan tambahan (ex offico) kepada siapa pun yang menjadi Wali Kota Batam.

Namun, karena ambisi pretensi menjadi Kepala BP Batam telah di ubun-ubun seorang Wali Kota Batam, maka jangan harap kepentingan rakyat akan lebih diutamakan. Produk gagal ex officio itu, menjadi mala petaka bagi warga Batam, atau setidaknya bagi warga Rempang. Dampaknya, wali kota yang dipilih dan dihormatinya, telah memilih sebagai pelindung bagi pengusaha atau juragan tanah daripada pelindung bagi rakyat.

Catatan redaksi.

Seharusnya, Muhammad Rudi tidak boleh lupa, dirinya sebagai Kepala Daerah, atau Wali Kota Batam, bertanggungjawab kepada rakyatnya. Sementara sebagai Kepala BP Batam, Muhammad Rudi bertanggungjawab kepada Dewan Kawasan. Satu person dengan dengan dua kiblat yang berbeda. Ketika kiblat itu menemukan konflik (baca benturan), maka Muhammad Rudi harus sadar, bahwa tugas utamanya adalah Kepala Daerah, bukan Kepala BP Batam. Sebab Kepala BP Batam adalah jabatan ‘sundulan’ yang disebut sebagai ex officio.

Sebenarnya, dalam Peraturan Pemerintah nomor 62 tahun 2019, sudah ada aturan pengaman dari kedua jabatan (Wali Kota Batam dan Kepala BP Batam) jika terjadi benturan. Di dalam pasal 2A huruf (1f) disebut: Pelaksanaan tugas dan wewenang Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam sebagaimana dimaksud pada huruf (1a) mengacu pada pedoman penanganan benturan kepentingan antara tugas dan wewenang sebagai Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam dan sebagai Wali Kota Batam. Kemudian pada huruf (1g) Penanganan benturan kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1f) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Jerita ibu-ibu warga Rempang terhadap penindasan pemerintah melalui BP Batam.

Sungguh aneh, jika terlalu kasar menggunakan istilah Rocky Gerung dengan kata ‘dungu,’ seorang Kepala Daerah yang sudah berani mengambil resiko sebagai Kepala BP Batam, tidak memahami hierarki undang-undang. Dasar yuridis Wali Kota adalah Undang-Undang, sementara dasar yuridis Kepala BP Batam adalah Peraturan Pemerintah. Sehingga, seharusnya sudah amat jelas, yang mana yang harus diutamakan oleh seorang wali kota, jika jabatan tambahannya berbenturan dengan jabatan utamanya.

Kita ambil contoh lain. Jabatan Wali Kota sebagai Kepala Daerah merupakan jabatan politis. Seorang Kepala Daerah membawahi para pejabat pengguna anggaran (Kepala Dinas/Badan). Sementara jabatan Kepala BP Batam merupakan jabatan yang langsung sebagai pengguna anggaran (PA). Dari struktur jabatan dalam penggunaan anggaran itu, dapat dipahami bahwa Kepala BP Batam tidak lebih tinggi dari pada jabatan Wali Kota. Meskipun, BP Batam merupakan badan yang dibentuk oleh pemerintah pusat. Di situ jugalah letak permasalahan carut-marutnya kewenangan di bidang keuangan. Sebab PA seharusnya berada di tangan pejabat karir atau setidaknya pejabat yang memiliki kompetensi, bukan pejabat politik.

Posisi sebagai Kepala BP Batam itu, membuat Muhammad Rudi, dengan enteng menjawab warga Rempang, bahwa dirinya harus menjalankan perintah dari pemerintah pusat. Kepala BP Batam tidak memiliki posisi tawar di hadapan pemerintah pusat, sebab BP Batam hadir dan bertanggungjawab kepada Dewan Kawasan, dan Dewan Kawasan bertanggungjawab kepada Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Itulah sebabnya Muhammad Rudi selalu meneriakkan dengan lantang, bahwa proyek Rempang Eco City (dalam perjanjian 2004 tidak ada istilah Rempang Eco City, tetapi istilah Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) seluas 17.000 hektar di Rempang dan sekitarnya adalah kelanjutan proyek 2004. ”Saya hanya melanjutkan perjanjian yang telah dibuat sejak tahun 2004 antara Pemerintah Kota Batam, Otorita Batam (BP Batam), dan PT Makmur Elok Graha (MEG).”

Jika sekiranya Muhammad Rudi menyadari tugas utamanya sebagai Wali Kota Batam, tentu dia akan lebih dahulu mendatangi warganya yang telah tinggal turun-temurun sejak tahun 1834 di Pulau Rempang. Tidak ujuk-ujuk memaksa relokasi ke rumah susun dengan mengerahkan ribuan pasukan Satpol PP, Ditpam BP, Polisi, TNI. Apalagi pemindahan nelayan ke rumah susun merupakan sebuah penyiksaan massal. Seorang wali kota tidak akan gegabah mengambil kesimpulan untuk mengusir rakyatnya dari tanah nenek-moyangnya, dengan manipulasi perjanjian yang telah dibuat sejak 19 tahun lalu.

Kata ‘manipulasi’ lebih tepat disebut dalam kasus ini, karena perjanjian yang dibuat pada 2004 menyebut: Perkampungan tua yang terdapat di Pulau Rempang dan pulau-pulau lainnya yang termasuk dalam nota kesepakatan tersebut harus tetap dipertahankan (enclave) sehingga tidak termasuk dalam wilayah pengembangan kawasan. Manipulasi yang merupakan sebuah pembohongan kepada publik, akibat dorongan pengusaha yang dibius dengan keserakahan memiliki seluruh daratan Pulau Rempang, tanpa memikirkan penduduk asli yang telah berdiam di sana sejak nenek moyangnya. Sebuah pengingkaran terhadap sosial budaya dan hukum, tetapi sebuah tindakan yang kerap dilakukan oleh para kapitalis, karena tujuan kapitalis adalah semata-mata keuntungan.

Wali Kota Batam ex officio Kepala BP Batam dinilai sebagai pengkhianat dan musuh Melayu.

Relokasi yang dipaksakan terhadap warga tradisional yang telah terikat adat-istiadat leluhur itu, menjadi sebuah perbuatan yang tergolong tidak manusiawi atau biadab, jika kita pandang dari sisi tanggungjawab pemimin sebagai Kepala Daerah. Namun, dapat dipahami, jika kecurangan itu dilakukan oleh seorang Kepala BP Batam, yang lebih mementingkan perusahaan PT MEG daripada rakyatnya yang tertindas. Sebab, seorang penguasa dari para pengusaha, tentu akan menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan. Jika lahan 17.000 hektar bukan untuk perusahaan produsen kacara dan panel surya seperti Xinyi, paling tidak lahan itu dapat dikuasai untuk menjadi modal bagi pengusaha. Seperti halnya di Pulau Batam, lahan-lahan potensial untuk usaha, hampir semua berada di tangan para spekulan tanah atau bahasa kekinian-nya mafia tanah.

Kasus Rempang merupakan bukti kegagalan pemerintah dalam mencampur-adukkan antara kepentingan dunia usaha yang berorientasi pada pengusaha dengan kepentingan pemerintahan yang berorientasi pada sosial kemasyarakatan. Dua kutub yang berbeda berada di tangan satu orang, bukanlah solusi terhadap dualisme (jika benar ada), tetapi adalah delusi seseorang yang haus jabatan dan serakah kepentingan. Kekuasaan atas pengalokasian tanah yang di dalamnya ada komisi dan rente, membuat seorang Wali Kota lupa jabatannya sebagai pemimpin rakyat. Seorang Wali Kota yang telah berubah menjadi ‘jongos’ korporat.

Seharusnya, Muhammad Rudi, setelah membaca Surat Keputusan Wali Kota Batam nomor KPTS 168/HK/VI/2004 tentang Tata Cara Pengelolaan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif Kota Batam, PT MEG harus sudah mulai beroperasi selambat-lambatnya 5 (lima) tahun terhitung sejak pelaksanaan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif Sementara yang telah dimulai sejak perjanjian itu dibuat pada 2004. Jika tidak, seharusnya perjanjian itu sudah batal, karena syarat perjanjian telah diabaikan.

Namun, karena ambisi pretensi menjadi Kepala BP Batam telah di ubun-ubun seorang Wali Kota Batam, maka jangan harap kepentingan rakyat akan lebih diutamakan. Produk gagal ex officio itu, menjadi mala petaka bagi warga Batam, atau setidaknya bagi warga Rempang. Dampaknya, wali kota yang dipilih dan dihormatinya, telah memilih sebagai pelindung bagi pengusaha atau juragan tanah daripada pelindung bagi rakyat. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *