* Membongkar Jabatan Ex Officio Sebagai Produk Gagal Pemerintah (Bagian 2)
Azhari Hamid, Wartawan Nusa Viral
Batam, 18 September 2023.
PEMAKSAAN warga masyarakat adat setempat agar pindah dari tempat tinggalnya di Rempang dan Galang, tidak akan terjadi jika benar mengikuti perjanjian yang telah dibuat pada 2004. Namun, faktanya Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, di satu sisi membuat kebijakan baru dengan relokasi 100 persen penduduk, tetapi ‘melempar’kan masalah dengan menyebut dirinya hanya menjalankan keputusan masa lalu.
Dalam Keputusan Gubernur Kepulauan Riau nomor 234 tahun 2007 tentang pengangkatan Tim Kajian Pengembangan Pulau Rempang, sebanyak 19 pejabat diangkat sebagai Ketua dan Anggota Tim Kajian. Setelah bekerja selama 4 bulan, Tim Kajian mengeluarkan Laporan Kajian antara lain: Perkampungan tua yang terdapat di Pulau Rempang dan pulau-pulau di lainnya yang termasuk dalam nota kesepakatan tersebut harus tetap dipertahankan (enclave) sehingga tidak termasuk dalam wilayah pengembangan kawasan.
Pengembangan Pulau Rempang dan sekitarnya, sejak awal tidak pernah diputuskan untuk mengusik warga setempat, apalagi warga yang telah bermukim di lokasi itu sejak turun-temurun. Sebab perjanjian antara Otorita Batam, Pemerintah Kota Batam, dan PT MEG, adalah soal pengembangan Kawasan Wisata Terpatu (KWT) dan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE), sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Batam tentang Kepariwisataan. Bukan wilayah industri, seperti pabrik kaca dan lain sebagainya.
Dengan menggunakan narasi relokasi warga masyarakat adat merupakan konsekuensi dari perjanjian yang telah dibuat 2004, Muhammad Rudi patut diduga telah memanipulasi sejarah, sehingga masyarakat dipaksa percaya bahwa dirinya adalah korban masa lalu. Benar juga pernyataan Sarafuddin Aluan, staf khusus Gubernur Kepulauan Riau, yang menyebut: ”Jangan mau enaknya saja (mau dianggap pahlawan), tapi ketika masalah sudah timbul seperti sekarang ini (kasus Rempang) dilempar ke orang lain (Gubernur). Itu namanya pemimpin yang suka lempar batu sembunyi tangan.”
Sifat yang sama terjadi pada berbagai kasus, antara lain kasus runtuhnya plafon masjid Tanjak di Hang Nadim. BP Batam menyalahkan iklim yang pada saat itu musim penghujan. Revitalisasi kolam dermaga utara pelabuhan terminal Batuampar, yang disalahkan kontraktor dan didaftarkan ke Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Republik Indonesia agar dimasukkan ke dalam daftar hitam. Sebaliknya, media yang menyorot kasus itu diintimidasi dengan melaporkan setiap berita yang mengungkap penyelewengan itu ke Dewan Pers.
Jangan mau enaknya saja (mau dianggap pahlawan), tapi ketika masalah sudah timbul seperti sekarang ini (kasus Rempang) dilempar ke orang lain (Gubernur). Itu namanya pemimpin yang suka lempar batu sembunyi tangan.
Catatan redaksi.
Begitu juga dalam pengelolaan Pulau Rempang, Pulau Galang dan pulau-pulau di sekitarnya. Menurut Keputusan Presiden RI nomor 28 tahun 1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat (Bonded Zone), pada Keputusan Keenam disebut Hal-hal yang bersangkutan dengan pengelolaan dan pengurusan tanah di dalam wilayah Pulau Rempang dan Pulau Galang, termasuk usaha-usaha pengamanan penguasaan, pengalihan, dan pemindahan hak atas tanah diatur lebih lanjut oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Keputusan itu bersyarat, yakni Otorita Batam yang kini menjadi BP Batam tidak tinggal diam, yakni menyelesaikan urusan tanah ke Badan Pertanahan Nasional. Jika diperlukan pemindahan hak atas tanah, yakni termasuk warga setempat yang telah tinggal di sana secara turun-temurun, BP Batam harus lebih dahulu menyelesaikannya sebelum diserahkan ke pihak pengguna tanah. Kondisi peruntuhan tanah yang masih sebagian besar berstatus hutan buru, hutan lindung, dan hutan produktif, merupakan pekerjaan yang seharusnya dilakukan BP Batam, sebelum menyerahkannya ke pihak lain.
Status yang belum bebas dari ‘cengkeraman’ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu, ditambah dengan sedikitnya lahan yang dapat dimanfaatkan ke sektor jasa karena warga masyarakat adat telah menghuni Area Penggunaan Lain-lain (APL). Data terakhir, menurut Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad, warga masyarakat adat menempati kurang dari 1.000 hektar tanah di Rempang. Hampir seluruh kampung yang ditempati masyarakat adat itu berada di APL, yakni area yang telah bebas dari status hutan sehingga dapat dibangun dan dikembangkan sebagai pemukiman dan dunia usaha.
Menurut data di KLHK, sesuai dengan perjanjian BP Batam, Pemko Batam, dan PT MEG, total lahan yang telah diserahkan ke PT MEG di Pulau Rempang mencapai 22.082,25 hektar. Tetapi, sabar dulu. Tidak semua bisa dipakai untuk misi PT MEG sebagai pengelola KWT dan KWTE. Luasan itu semua terdiri dari 5.595,12 hektar hutan lindung (HL), 2.642,35 hektar taman buru (TB), 221,52 hektar hutan produksi (HP), 258,85 hektar hutan produksi terbatas (HPT), 8.924,16 hektar hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), 4.305,04 hektar area penggunaan lain (APL), dan 135,22 hektar tubuh air. Total seluruh lahan yang telah disepakati antara BP Batam, Pemko Batam, dan PT MEG adalah 22.082,25 hektar. Tanah seluas itu yang telah disepakati tanpa penggusuran atau relokasi warga masyarakat adat.
Sayangnya, setelah 19 tahun kesepakatan itu berlangsung, tidak ada informasi PT MEG telah membayar Uang Wajib Tahunan (UWT), dan tidak ada upaya PT MEG mengurus lahan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 8.924,16 hektar. Jika benar serius, PT MEG sudah dapat mengelola kawasan seluas 4.305,04 hektar APL, dengan asumsi lahan seluas itu berada di luar pemukiman kampung masyarakat adat, serta 8.924,16 hektar, maka PT MEG telah memiliki lahan yang siap dikelola seluas 13.229,56 hektar. Tetapi, faktanya PT MEG berpangku tangan selama 19 tahun, dan muncul 4 perusahaan yang berupaya melakukan usaha dengan memohon izin terhadap Kementerian LHK agar dapat mengelola hutan produksi yang dapat dikonversi.
Upaya tidak kenal menyerah itu dilakukan oleh (1) PT Golden Beach Resort yang memperoleh seluas 365,31 hektar, (2) PT Villa Pantai Mutiara yang memperoleh seluas 191,78 hektar, (3) PT Agrilindo Estate yang memperoleh seluas 175,39 hektar, (4) PT Pantai Cermin Indah Lestari yang memperoleh seluas 95,16 hektar, (5) PT Budidaya Aneka Buah yang memperoleh seluas 579,42 hektar, dan (6) PT Camel Asia Internasional yang memperoleh seluas 148 hektar. Total lahan yang telah siap dikelola oleh keenam perusahaan itu mencapai 1.555,06 hektar. Lahan itu, diyakini merupakan bagian dari 8.924,16 hektar hutan produksi yang dapat dikonversi, yang tadinya telah diserahkan kepada PT MEG.
Tetiba, setelah sekian tahun mengurus pembebasan lahan dari KLHK melalui BP Batam, dan saat itu Muhammad Rudi sebagai Kepala BP Batam telah mengeluarkan surat Permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan HPK untuk Pengembangan Pengelolaan BP Batam di wilayah Pulau Rempang, Galang, dan pulau-pulau di sekitarnya sebagai kawasan tujuan industri bertaraf internasional di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Surat itu telah masuk dan disetujui juga oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kepulauan Riau atas rekomendasi dari Kepala BP Batam, sudah mendapat surat dari Menteri Koordinasi Perekonomian atas surat dari Kepala BP Batam, sehingga Menteri LHK memutuskan mengeluarkan Surat Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (SIUPJL), terhadap 6 perusahaan di atas.
Kesalahan itu, tentu pada saringan pertama di BP Batam sebagai badan pengusahaan, atas nama menteri, karena BP Batam dibentuk sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam pengelolaan industri dan investasi di Pulau Batam dan sekitarnya. Di satu sisi kita dapat menyebut pengalokasian terhadap 6 perusahaan merupakan kesalahan. Namun di sisi lain penyerahan kembali lahan yang tidak ditindak-lanjuti oleh PT MEG, seperti mengurus pelepasan hutan produksi yang dapat dikonversi, dan mengurus surat tanah ke BPN, merupakan kesalahan yang lebih fatal. Seharusnya, lahan yang tidak dimanfaatkan selama 6 bulan, sesuai dengan aturan baku di BP Batam, dianggap tidak benar akan mengelola lahan, sehingga dapat ditarik kembali oleh BP Batam.
Kepala BP Batam yang salah (yang manapun opsinya), tetapi dalam penyelesaiannya dipaksa para pemegang SIUPJL untuk mengakui sebuah kesalahan yang tidak dilakukannya. Bahkan para pengusaha itu dongkol, karena untuk mengurus sebuah SOIJPL bukan uang murah, bisa miliaran rupiah, namun akhirnya disalahkan dan dicabut sepihak.
Dalam draft pernyataan yang disodorkan oleh BP Batam, terlihat narasi yang menyalahkan pengusaha dengan tiga item: (1) Bahwa saya telah menerima dan tidak melakukan upaya hukum lain terhadap Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor sekian-sekian, tanggal sekian, tentang Pencabutan SK nomor sekian, tanggal sekian tentang IUJPL; (2) Bahwa saya akan menyerahkan seluruh lahan perizinan seluas sekian hektar kepada BP Batam. Sebuah pernyataan memaksa, seolah kesalahan pada penerima alokasi, padahal kesalahan dilakukan oleh BP Batam. Ini yang disebut ‘lempar batu sembunyi tangan.’
Ada lagi yang aneh, Pemko Batam akan merelokasi 3 SMP negeri, 12 SD Negeri, 1 Puskesmas di Rempang, yang didirikan oleh uang rakyat. Jika 1 unit sekolah bernilai Rp2 miliar, berarti Pemko Batam telah membuat Rp30 miliar uang rakyat akibat kelalaian dalam menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Seharusnya Kepala BP Batam yang juga adalah Wali Kota Batam, bertanggungjawab terhadap kesalahan mendirikan aset pemerintah di atas tanah yang telah diserahkan ke pihak lain. Sebuah kesalahan fatal yang dilakukan Kepala BP Batam, tetapi dengan enteng, diserahkan begitu saja kepada DPRD Kota Batam untuk dibahas ulang soal pendanaan kembali aset-aset yang hilang itu. (Bersambung)